Jet pribadi atau private jet mulai marak digunakan para orang kaya dan pesohor di berbagai negara. Namun, jet pribadi berbahay bagi lingkungan karena dinilai boros emisi.
Analis GlobalData, Will Tyson, mengatakan pesawat adalah salah satu metode transportasi yang paling mencemari karena berbagai gas yang dilepaskan.Tidak hanya emisi CO2, gas yang dilepaskan juga berupa oksida nitrogen dan efek dari jejak uap.
"Ketinggian dari mana gas-gas tersebut dilepaskan juga mempengaruhi karena efek rumah kaca semakin kuat jika semakin tinggi di udara," ujar Will dilansir dari Airport Technology, Rabu (11/9).
Namun demikian, dampak polusi jet pribadi lebih besar karena digunakan oleh lebih sedikit penumpang. Emisi yang dihasilkan oleh pesawat jet lebih besar 5-14 kali jika dibandingkan dengan penerbangan komersil.
Emisi karbon jet pribadi bahkan bisa meenghasilkan karbon 50 kali lebih banyak jika dibandingkan moda transportasi darat seperti kereta api.
Sementara itu berdasarkan data yang diperoleh lembaga non profit Transport & Environment (T&E) menunjukan bahwa sektor penerbangan menyumbang sekitar 2,8 persen dari emisi CO2 yang menyebabkan perubahan iklim. Meskipun proporsi tersebut tampaknya relatif kecil, para ahli iklim menunjukkan dampak besar yang disebabkan oleh sekelompok kecil orang.
Pasalnya, hanya 1 persen dari populasi global yang bertanggung jawab atas 50 persen emisi CO2 dari penerbangan komersial, menurut studi 2020 di jurnal Global Environmental Change.
Bahan Bakar Ramah Lingkungan Bisa Picu Deforestasi
Sementara itu, industri penerbangan melakukan berbagai upaya untuk menjadi lebih berkelanjutan. Salah satunya dengan menggunakan bahan bakar lebih rendah emisi untuk dapat membantu mencapai net zero pada 2050.
Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA) mengatakan bahan bakar ramah lingkungan dapat mengurangi emisi hingga 80 persen selama siklus hidupnya dibandingkan bahan bakar konvensional. Semnetara sejumlah maskapai penerbangan seperti Air Canada dan carrier AS United Airlines telah membeli pesawat listrik yang ditujukan untuk perjalanan pendek.
Meski begitu, peningkatan bahan bakar berkelanjutan dapat menyebabkan deforestasi. Pasalnya bahan bakar ramah lingkungan menggunakan minyak kelapa sawit dan minyak kedelai yang proses produksinya berpotesi membutuhkan lahan lebih luas.
Ada juga kekhawatiran tentang seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan produksi bahan bakar bersih ini. Pada 2021, biofuel hanya menyumbang kurang dari 0,1 persen dari bahan bakar penerbangan pada tahun 2021, menurut Badan Energi Internasional.
Bahan Bakar Berkelanjutan di Indonesia
Di Indonesia, PT Pertamina (Persero) membuka kemungkinan memanfaatkan minyak goreng sisa pakai atau minyak jelantah untuk dijadikan sustainable aviation fuel (SAF) atau avtur ramah lingkungan. Senior Vice President (SVP) of Business Development PT Pertamina (Persero), Wisnu Medan Santoso, mengatakan perusahaan tengah mengkaji beberapa opsi untuk mengembangkan SAF dari minyak jelantah.
Menurut Wisnu, salah satu diskusi yang tengah dilakukan Pertamina adalah cara untuk mengumpulkan minyak jelantah dari masyarakat.
"Kita lagi eksplor opsi-opsi, karena kita punya SPBU, agen-agen cukup banyak di seluruh Indonesia," ujar Wisnu dalam acara Energizing Tomorrow: Menjawab Tantangan Transformasi Energi Menuju Net Zero Emission, di Jakarta, Selasa (10/9).
Meski begitu, ia belum bisa memastikan SPBU mana yang akan digunakan sebagai tempat pengumpulan minyak jelantah. Penggunaan minyak jelantah sebagai bahan baku untuk pembuatan SAF akan sulit dilaksanakan jika bahan bakunya masih kurang.
"Tanpa stok bahan baku yang cukup memang agak sulit mengembangkan proyeknya," ujarnya.
Dia mengatakan, Pertamina juga tengah menyiapkan Green Refinery Cilacap untuk pengembangan SAF. Fasilitas tersebut ditargetkan dapat memproduksi Biofuel dalam bentuk Hydrotreated Vegetable Oil (HVO) dengan kapasitas 6.000 barel.
Kementerian ESDM Kaji Kelapa Jadi Bioavtur
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), berencana mengembangkan kelapa tak layak konsumsi untuk diolah menjadi bahan baku campuran bahan bakar pesawat terbang atau bioavtur. Direktur Bioenergi Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Edi Wibowo, mengatakan kelapa menjadi salah satu potensi dan diakui dalam daftar calon bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF).
"Memang kelapa-kelapa reject itu salah satu potensi untuk bisa menjadi bahan baku bioavtur atau SAF itu," ujar Edi dalam Temu Media di Kantor Ditjen EBTKE, Senin (9/9).
Edi mengatakan, untuk dapat melaksanakan pemanfaatan kelapa tak layak konsumsi menjadi bioavtur masih terdapat beberapa hal yang harus diselesaikan. Salah satunya mengenai pembudidayaan kelapa masih belum memiliki industri yang besar atau masih dalam tahapan perkebunan rakyat.
Oleh karena itu, terdapat rencana tambahan tugas bagi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk mengelola di luar komoditas kelapa sawit, yakni kakao hingga kelapa.