Indonesia, Brasil, dan Kongo Penyumbang Terbesar Emisi Karbon Penggunaan Lahan

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/tom.
Foto udara kawasan hutan lindung Jayagiri di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Jumat (16/6/2023).
Penulis: Djati Waluyo
13/11/2024, 12.04 WIB

Indonesia, Brasil, dan Republik Demokratik Kongo menyumbang sekitar 60% dari total emisi karbon dioksida (CO2) akibat perubahan penggunaan lahan secara global. Indonesia harus memiliki komitmen yang kuat agar kebijakan penurunan emisi karbon dari sektor hutan dan lahan dengan kebijakan energi berjalan selaras.

Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Nadia Hadad mengatakan Indonesia menjadi salah satu negara yang berperan besar untuk mengurangi emisi global akibat deforestasi dan perubahan fungsi lahan. Isu deforestasi dan perubahan fungsi lahan menjadi tantangan besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim.

Menurutnya, komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi melalui inisiatif FOLU Net Sink 2030, di mana sektor hutan dan lahan akan menyerap emisi lebih banyak dibanding emisi yang dilepaskan ke atmosfer, cukup baik.

"Sayangnya, Indonesia belum secara tegas menempatkan posisinya dalam mencegah deforestasi, salah satunya untuk bergabung dalam Forest and Climate Leaders’ Partnership (FCLP)," ujar Nadia dalam keterangan tertulis, Rabu (13/11).

Untuk memastikan inisiatif ini berjalan dan diimplementasikan dengan baik, pemerintah Indonesia harus memiliki komitmen yang kuat. Selain itu, pemerintah harus menyelaraskan antara kebijakan penurunan emisi sektor hutan dan lahan dengan kebijakan energi agar tidak kontraproduktif.

Penurunan Emisi Karbon Semu

Pengkampanye Energi Fosil Trend Asia, Novita Indri, mengatakan emisi karbon Indonesia dari bahan bakar fosil tercatat sebesar 733,2 juta ton pada 2023, turun dibandingkan dengan level emisi pada 2022.

Meski mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, emisi karbon di Indonesia masih cenderung tinggi. Kondisi tersebut terjadi karena sektor energi Indonesia masih didominasi penggunaan energi fosil.

Dengan kondisi tersebut, ada kekhawatiran atas apa yang sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pasalnya, pemerintah Indonesia masih mengizinkan dibangunnya PLTU batu bara baru hingga penggunaan turunannya seperti gasifikasi dan batu bara tercairkan sebagai bagian dari energi baru. Kebijakan ini akan membayangi upaya untuk menekan laju emisi.

"Sudah seharusnya Indonesia serius untuk melepaskan diri dari ketergantungan batubara demi keberhasilan mencapai Perjanjian Paris dan hidup di bumi yang layak,” ujar Novita.


Rekor Emisi Karbon Global

Berdasarkan laporan Global Carbon Budget, emisi karbon global dari bahan bakar fosil diperkirakan mencapai rekor tertinggi 37,4 miliar ton pada 2024, naik 0,8% dari 2023. Meski begitu, sampai dengan saat ini belum ada tanda-tanda dunia akan mengurangi emisi karbon dari sektor energi fosil agar segera mencapai puncaknya.

Selain itu, dalam laporan tersebut juga menemukan emisi karbon dari sektor alih fungsi lahan cenderung turun dalam sepuluh tahun terakhir, dengan perkiraan emisi tahun ini sebesar 4,2 miliar ton.

Pemimpin studi Laporan Global Carbon Budget, Pierre Friedlingstein, mengatakan emisi karbon dari bahan bakar fosil maupun perubahan penggunaan lahan pada 2024 diperkirakan akan meningkat. Pasalnya, terjadinya kekeringan memperburuk emisi akibat deforestasi dan kebakaran hutan selama fenomena El Niño 2023-2024.

Emisi yang dikeluarkan setiap tahun mencapai 40 miliar ton CO2 berpotensi mendorong semakin parahnya pemanasan global dan dampaknya. Meski demikian, tidak ada tanda-tanda bahwa emisi dari pembakaran fosil telah mencapai puncaknya.

“Waktu semakin terbatas untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris, dan para pemimpin dunia yang berkumpul di COP29 harus segera mengambil langkah tegas dan cepat untuk mengurangi emisi bahan bakar fosil agar kita memiliki kesempatan untuk menjaga pemanasan global tetap di bawah 2 derajat C dari tingkat pra-industri," ujar Pierre.

Pierre menilai, sampai dengan dunia mencapai net zero untuk emisi CO2, suhu dunia akan tetap meningkat dan menyebabkan dampak yang semakin parah.

Peneliti Center for International Climate Research (Cicero), Glen Peters, mengatakan, terdapat banyak tanda kemajuan positif di tingkat negara, dan diperkirakan puncak emisi CO2 fosil global akan segera tercapai, namun tetap saja masih sulit direalisasikan.

"Aksi iklim adalah masalah kolektif, dan meskipun pengurangan emisi secara bertahap terjadi di beberapa negara, peningkatan emisi masih terus terjadi di negara lain. Kemajuan di semua negara perlu dipercepat dengan cukup cepat untuk menempatkan emisi global pada jalur penurunan menuju," ujar Glen.

Reporter: Djati Waluyo