Insentif Pajak untuk Industri Plastik Berdampak Buruk ke Lingkungan dan APBN

ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/YU
Pekerja menunjukkan botol plastik yang telah dicacah di Amandina Bumi Nusantara, Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (4/11/2024). Pabrik daur ulang botol plastik tersebut mengolah 40.000 ton Recycle Polyethylene Terephthalate (RPET) guna mengatasi persoalan sampah plastik di Indonesia dan mendorong terciptanya ekonomi sirkular siklus tertutup (closed-loop) untuk kemasan plastik.
23/12/2024, 15.01 WIB

Sejumlah insentif perpajakan yang dinikmati industri plastik dinilai akan berdampak buruk pada lingkungan dan pendapatan negara. 

Riset terbaru Prakarsa bertajuk 'Plastik dan Ketidakadilan Insentif Pajak' menyebut industri plastik saat ini mendapatkan sejumlah keringanan pajak seperti tax holiday hingga 20 dan pembebasan bea masuk bahan baku. Selain itu, industri plastik juga berpotensi mendapatkan tax allowance melalui Perpres No. 78 Tahun 2015 dan Peraturan Menteri Perindustrian No. 48 Tahun 2015. Insentif ini diberikan untuk meningkatkan kapasitas produksi plastik terutama plastik virgin yang lebih harganya lebih kompetitif.

Para peneliti dalam riset tersebut menyoroti dampak insentif tersebut terhadap lingkungan dan hilangnya potensi pendapatan negara. "Potensi kehilangan pendapatan pajak rata-rata mencapai USD 54 juta atau Rp810 miliar per tahun, sementara kerugian ekonomi akibat polusi plastik diperkirakan mencapai USD 450 juta atau Rp6,75 triliun per tahun," dikutip dari riset The Prakarsa berjudul "Plastik dan Ketidakadilan Insentif Pajak", Senin (23/12).

Adapun, sektor yang terdampak langsung, seperti perikanan, transportasi, dan pariwisata, mengalami kerugian besar akibat polusi plastik. Penelitian tersebut juga menunjukan bahwa, beban itu juga menambah tekanan pada anggaran pemerintah yang harus dialokasikan untuk mitigasi dampak polusi, serta mengurangi kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak.

Selain itu, ditemukan juga adanya ketidakselarasan antara kebijakan ekonomi dan tujuan lingkungan. Meskipun pemerintah berupaya mengurangi limbah plastik melalui ekonomi sirkular dan larangan plastik sekali pakai, insentif pajak bagi industri plastik tetap mendominasi kebijakan fiskal.

"Hal ini menimbulkan konflik antara dorongan pertumbuhan industri plastik dan target pengurangan emisi karbon dan pembangunan yang berkelanjutan," tulis riset tersebut.

Riset tersebut menyarankan agar Kementerian Keuangan mengkaji ulangkebijakan terkait insentif pajak, baik PPN maupun PPh, untuk industri virgin plastik yang berasal dari impor maupun produksi prekursor plastik. Selain itu, dampak pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan remediasi polusi plastik juga harus dipertimbangkan. 

Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup diminta untuk menetapkan larangan secara bertahap dalam hal penggunaan plastik di sejumlah sektor.  Selain itu, KLH bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian Perdagangan harus mengeluarkan peraturan yang mendorong penerapan sistem Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas untuk memastikan produk dan kemasan produksi mereka yang dapat di daur ulang, ditarik kembali oleh produsen untuk diolah lebih jauh dengan cara-cara yang berwawasan lingkungan.

Riset tersebut juga  meminta agar industri produsen plastik wajib melakukan asessment risiko lingkungan, memitigasi dan menangani risiko yang muncul pada aspek lingkungan dan sosial. Selain itu, industri olefin, aromatik dan ammonia yang memproduksi plastik harus meningkatkan prinsip-prinsip transparansi dalam pengendalian pencemaran dan meningkatkan publikasi laporan terkait emisi dan lepasan yang dapat diakses publik.

Reporter: Djati Waluyo