Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyebut rencana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memperluas kebun sawit demi ambisi bioenergi sangat berisiko. Menurut perhitungan Celios, Indonesia justru akan meraup keuntungan ekonomi Rp 28,9 triliun pada 2045 jika dilakukan moratorium sawit.
Bhima mengatakan program perluasan lahan sawit itu bisa menjadi pembenaran bagi negara importir untuk menambah berbagai hambatan dagang, baik tarif maupun nontarif.
"Saya kira itu blunder, apalagi dalam era perang dagang, sawit Indonesia rentan jadi sasaran proteksionisme negara maju," ujar Bhima dalam keterangan tertulis, Senin (13/1).
Dengan adanya Undang-Undang Antideforestasi Uni Eropa (EUDR), Indonesia harus memastikan lahan sawit tidak bertambah luas tetapi lebih produktif. Selama ini Indonesia menghadapi masalah produktivitas lahan sawit yang rendah. Sawit di Indonesia secara rata-rata hanya menghasilkan 12,8 ton per hektare (ha) untuk tandan buah segar. Di Malaysia, untuk lahan yang sama bisa menghasilkan 19 ton tandan buah segar.
Karena itu, Celios menilai produktivitas lahan sawit bisa ditingkatkan dengan intensifikasi lahan, teknologi pertanian, pembibitan, dan pupuk. Kebijakan moratorium sawit dan skema replanting dinilai mampu menciptakan kontribusi ekonomi pada 2045 berupa output ekonomi sebesar Rp 28,9 triliun.
Program tersebut juga diperkirakan bisa menambah Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 28,2 triliun, meningkatkan pendapatan masyarakat Rp 28 triliun, dan surplus usaha Rp 16,6 triliun. Penerimaan pajak bersih akan bertambah Rp 165 miliar, ekspor meningkat Rp 782 miliar, pendapatan tenaga kerja akan mencapai Rp 13,5 triliun, dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 761 ribu orang.
"Hasilnya jauh lebih positif dibandingkan dengan skenario pembukaan kawasan hutan besar-besaran," ujar Bhima.
Hutan Cadangan Pangan dan Energi
Sebelumnya, Kementerian Kehutanan mengklaim ada potensi 20,6 juta ha lahan hutan yang dapat digunakan untuk tanaman pangan dan energi. Sumber lahan tersebut adalah hutan lindung dan hutan produksi. Wacana hutan cadangan pangan dan energi tersebut disampaikan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni usai rapat terbatas di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, akhir tahun lalu.
“Ini hanya men-support terhadap apa yang dikerjakan Menteri Pertanian dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yaitu dengan konsep hutan cadangan pangan dan energi. Kami telah mengidentifikasi dengan Menteri Pertanian, ada sekitar 20 juta hektare yang dapat digunakan,” ujar Raja Juli.
Menurutnya, seluruh lahan hutan cadangan pangan dan energi adalah bagian dari proyek lumbung pangan atau food estate. Lokasinya tersebar di seluruh provinsi, bahkan di tingkat desa.
“Ada di seluruh provinsi, jadi itu akan menjadi lumbung pangan kecil. Tidak hanya food estate yang besar, namun bahkan bisa di desa. Ini menjadi bagian dari program swasembada pangan.” kata Raja Juli.