Pemanasan Global Jadi Tantangan Baru bagi Peserta Maraton Global

ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/tom.
Peserta berlari saat mengikuti BTN Jakarta International Marathon (JAKIM) 2025 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (29/6/2025). Sebanyak 31.000 peserta dari 51 negara mengikuti BTN JAKIM 2025 yang diselenggarakan dalam rangka merayakan HUT Ke-498 DKI Jakarta.
Penulis: Hari Widowati
4/11/2025, 16.25 WIB

Para pelari menghadapi tantangan yang menakutkan saat mereka berdiri di garis start maraton. Kini, mereka harus menghadapi hambatan baru: pemanasan global.

Sebuah studi baru menyatakan kenaikan suhu di seluruh dunia akan membuat para atlet elite semakin sulit untuk memecahkan rekor dunia maraton. Para pelari rekreasi juga bakal sulit mencapai target waktu mereka.

Dari 221 balapan yang dianalisis dalam laporan Climate Central yang dirilis pekan lalu, 86% di antaranya kemungkinan besar tidak akan memiliki kondisi balapan optimal bagi para pelari pada tahun 2045. Termasuk di antaranya adalah New York City Marathon yang digelar Minggu (2/11) lalu dan enam maraton besar lainnya di seluruh dunia — London, Berlin, Tokyo, Chicago, Boston, dan Sydney.

Bagi para pelari, konsekuensi berlari dalam kondisi panas bisa sangat ekstrem.

“Kami telah melihat berulang kali bagaimana atlet pingsan akibat dehidrasi dan kelelahan karena panas selama balapan dan membutuhkan bulan-bulan untuk pulih,” kata pelari jarak jauh Skotlandia Mhairi Maclennan kepada CNN Sports.

“Hal ini memiliki dampak yang sangat signifikan pada kekentalan darah Anda, seberapa cepat tubuh Anda dapat pulih, tingkat hidrasi Anda selama berhari-hari, serta kemampuan Anda untuk berlatih setelah pengalaman seperti itu, yang kemudian dapat menunda pencapaian dan tujuan lain yang Anda kejar.”

Menurut studi tersebut, suhu optimal untuk pelari maraton pria elite adalah 4 derajat Celsius dan 9 derajat Celsius untuk pelari wanita elite.

Tahun ini, Tokyo Marathon memiliki peluang 69% untuk suhu ideal pada hari balapan bagi atlet pria elite. Namun, peluang tersebut diperkirakan akan turun menjadi 57% dalam 20 tahun. Peluang Boston Marathon diperkirakan akan turun dari 61% menjadi 53% untuk kategori yang sama dalam periode waktu yang sama, sementara London akan turun dari 22% menjadi 17%.

Bagi atlet wanita elite, kemungkinan kondisi optimal juga diperkirakan akan menurun di lima dari tujuh maraton besar pada tahun 2045. Peluang kondisi optimal pada Maraton Sydney dan Berlin masing-masing berkurang sebesar 10% dan 11%.

Menurut data dari badan pemantauan iklim Copernicus, 2024 adalah tahun terpanas dalam catatan dengan 1,6 derajat Celsius lebih panas daripada periode praindustri. Rekor ini memecahkan rekor sebelumnya yang ditetapkan pada 2023.

Berolahraga dalam suhu yang lebih tinggi memberikan tekanan lebih besar pada tubuh, terutama dalam kelembapan tinggi. Dalam hal ini, strategi hidrasi atlet menjadi semakin krusial.

Selama Berlin Marathon pada bulan September, suhu mencapai 24 derajat Celsius, yang merupakan suhu yang tidak biasa hangat untuk musim tersebut. Sementara itu, Tokyo Marathon dan London Marathon mengalami kenaikan suhu di atas 20 derajat Celsius.

Suhu yang Lebih Hangat Membuat Atlet Sulit Capai Rekor Pribadi

Menjelang maraton tahun ini di Berlin, panitia mengatakan suhu yang lebih hangat akan “membuat atlet lebih sulit untuk mencapai rekor pribadi”. Panitia menyarankan para pelari untuk “mengalihkan fokus dari mengejar rekor dan sebaliknya menikmati atmosfer unik sepanjang rute.” Mereka juga memberikan saran tentang hidrasi, strategi pendinginan, pakaian, dan pemulihan.

“Beberapa suhu ekstrem yang dialami di Maraton Berlin dan Tokyo 2025 mendorong suhu jauh melampaui kondisi optimal untuk performa puncak,” kata Maclennan, yang menjadi pelari wanita Inggris dengan peringkat tertinggi di London Marathon tahun lalu dengan waktu 2:29:15.

“Itu sulit karena pada akhirnya, olahraga adalah bisnis, dan menghasilkan pendapatan dari penonton. Jika penonton datang untuk menyaksikan pertunjukan yang cepat dan hal itu tidak terjadi karena perubahan iklim, itu menjadi masalah bagi sektor ini.”

Maclennan, yang tinggal dan berlatih di iklim yang seringkali dingin di Skotlandia, mengatakan berlari di cuaca panas selalu menjadi tantangan baginya. Dia menjelaskan bagaimana atlet elite yang berkompetisi di kondisi panas mungkin mengikuti kamp latihan di cuaca panas, melakukan latihan di kamar panas, atau mandi sauna dan air panas langsung setelah latihan untuk menjaga suhu tubuh tetap tinggi dalam periode yang lebih lama.

Mencari Cuaca yang Mendukung

Setelah hujan deras dan banjir di Kota New York pekan lalu, kondisi cuaca untuk maraton pada Minggu (2/11) lalu cukup baik, dengan lebih dari 55.000 pelari ikut serta. Jika maraton besar terus digelar di cuaca panas, hal itu mungkin akan menimbulkan masalah penjadwalan bagi panitia.

“Kami mengadakan maraton pada musim semi dan musim gugur di belahan bumi utara, karena itulah waktu-waktu ketika kami mendapatkan suhu yang sejuk dan ideal untuk performa lari yang baik,” kata Andrew Pershing, yang memimpin tim ilmuwan Climate Central dan terlibat dalam studi baru tersebut, kepada CNN Sports.

“Seiring dengan pemanasan iklim, jika Anda memiliki perlombaan yang berlangsung pada minggu yang sama setiap tahun, iklim yang baik itu akan berlalu dan menjauh dari Anda. Kondisi yang baik itu menjadi semakin jarang terjadi.”

Salah satu solusi bagi penyelenggara mungkin adalah menjadwalkan waktu start yang lebih awal untuk maraton.

Contoh ekstrem dari hal itu adalah Kejuaraan Atletik Dunia 2019 di Doha, ketika maraton pria dan wanita dimulai pada tengah malam waktu setempat untuk mengompensasi cuaca panas di siang hari. Namun, saat itu suhu untuk balapan wanita mencapai 31 derajat Celsius dengan kelembapan 77%.

Seperti yang dijelaskan Maclennan, atlet jarang memiliki kemewahan untuk memilih kapan dan di mana mereka berkompetisi, terutama dalam acara seperti kejuaraan dunia dan maraton besar.

Maclenna mengatakan Olimpiade 2028 di Los Angeles mungkin menjadi contoh lain di mana atlet harus melakukan banyak penyesuaian. “Hal yang sama berlaku untuk setiap kompetisi di mana lingkungan berbeda dari tempat Anda berlatih. Ada pertimbangan yang perlu dilakukan mengenai cara Anda beradaptasi dan cara Anda melatih tubuh Anda untuk berkompetisi dalam kondisi tersebut,” ujarnya.

Rekor dunia maraton telah dipecahkan beberapa kali baik di kategori pria maupun wanita dalam beberapa tahun terakhir, meskipun banyak yang mengaitkan waktu yang lebih cepat ini dengan kemajuan teknologi sepatu.

Ruth Chepngetich, yang saat ini sedang menjalani larangan doping selama tiga tahun, memecahkan rekor wanita dengan waktu 2:09:56 di Chicago tahun lalu. Sementara itu, Kelvin Kiptum yang telah meninggal dunia memecahkan rekor pria di Chicago, dengan waktu 2:00:35 pada tahun 2023.

Namun, dengan meningkatnya suhu global, atlet dan pakar iklim sama-sama memperkirakan jenis-jenis prestasi seperti itu mungkin akan semakin langka di masa depan.

“Ada lebih banyak maraton dengan kondisi yang semakin buruk, yang mengurangi peluang bagi atlet wanita elite untuk memecahkan rekor. Secara keseluruhan, hal itu mengurangi kualitas acara … Saya yakin gelombang panas sudah mulai mengubah sejarah balapan,” ujar Maclenna.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.