Belum Ada Acuan, Pakar Minta Indonesia Belajar dari PSEL di Thailand

Katadata/Ajeng Dwita Ayuningtyas
Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Pandji Prawisudha, meminta Indonesia belajar dari pengalaman Thailand dalam Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL). Hal itu disampaikannya dalam Waste to Energy Investment Forum, di Jakarta, Rabu (19/11).
19/11/2025, 14.27 WIB

Pemerintah mengandalkan proyek waste to energy atau Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) untuk mengatasi masalah sampah di perkotaan. Namun, pakar menilai Indonesia belum memiliki benchmark (acuan) teknologi PSEL yang bisa diaplikasikan secara optimal. 

Direktur Perlindungan dan Pengelolaan Mutu Udara Kementerian Lingkungan Hidup, Edward Nixon Pakpahan, mengatakan hingga kini  belum ada benchmark teknologi yang bisa diaplikasikan optimal di Indonesia. 

Setiap daerah membutuhkan jenis teknologi berbeda dalam pengolahan sampah, sehingga dapat berpengaruh pada nilai investasi. Hal ini juga bisa berdampak pada kesiapan pemerintah daerah. Nixon melanjutkan, regulasi baru diharapkan bisa mengurai masalah tersebut. 

“Simpul-simpul birokrasi, regulasi, itu semua akan dipotong. Akan dieksekusi dengan taktis saja,” kata Nixon, dalam Waste to Energy Investment Forum 2025, di Jakarta, Rabu (19/11).

Sebagai tambahan, dirinya mengingatkan para pihak yang terlibat agar fokus pada peran masing-masing, termasuk terkait adopsi teknologi. Tujuannya, agar solusi akhir pengolahan sampah ini bisa berhasil. 

Belajar dari Kasus di Thailand

Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB, Pandji Prawisudha, mencontohkan penggunaan teknologi insinerator Thailand diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi Indonesia. 

Saat ini, ada 64 pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) yang tersebar di seluruh Thailand, salah satunya di Phuket. Pembangkit ini dibangun sekitar tahun 1999, dengan kapasitas pengolahan sampah 250 ton per hari. Dari input tersebut, target listrik yang dihasilkan 2,5 MW.

“Namun, ternyata sampah yang datang lebih dari 250 ton per hari. Selain itu, pembangkit listriknya tidak pernah bisa melebihi 2,5 MW,” ujar Pandji. 

Setelah diteliti, faktor penyebabnya adalah kondisi sampah di Phuket. Hasil prastudi kelayakan menunjukkan kandungan sampah organik di Phuket sekitar 34%. Namun saat proyek berjalan hingga 2007, komposisi sampah organik meningkat menjadi 49-60%. 

Pandji mengatakan, proses sampling sampah dalam feasibility study atau studi kelayakan sangat penting mengingat komposisi sampah organik di Indonesia juga mencapai 55-60% dari total timbulan sampah.

“Jangan sampai investor yang masuk ke Indonesia atau calon-calon operator pembangkit listrik tenaga sampah itu meleset dalam melihat karakteristik sampah,” kata Pandji. 

Nixon mengatakan, saat menyeleksi daerah potensial untuk proyek pembangkit listrik tenaga sampah, profiling sampah telah dilakukan. Menurutnya, itu bekal yang cukup untuk kemudian pelaksanaan proyek dilanjutkan oleh Danantara

Hasil profiling itu menjadi ‘umpan’ bagi pihak yang akan membangun teknologinya. “Jadi sequence-nya (rangkaiannya) itu,” ujarnya. 

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Ajeng Dwita Ayuningtyas