Sawit Watch: Perkebunan Sawit di Sumatra Lampaui Daya Tampung Lingkungan Hidup

ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/app/nz
Kebun kelapa sawit tergenang sisa banjir bandang terlihat dari Helikopter Caracal Skadron Udara 8 Lanud Atang Sendjaja di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh, Rabu (3/12/2025).
18/12/2025, 14.47 WIB

Sawit Watch mengungkapkan, bencana di Sumatra tidak dapat dilepaskan dari ekspansi perkebunan kelapa sawit yang telah melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

 Kajian Sawit Watch, MADANI Berkelanjutan, Satya Bumi, dan Lokahita tentang nilai batas atas (cap) sawit di Indonesia menggunakan pendekatan Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) menunjukkan bahwa Pulau Sumatra telah mengalami defisit ekologis.

“Saat ini, luas tutupan sawit di Sumatra telah mencapai 10,7 juta hektare, angka ini secara faktual telah melampaui nilai batas atas atau cap sawit Pulau Sumatra yang sebesar 10,69 juta hektare. Padahal, berdasarkan kajian kebutuhan lahan sawit di Sumatra hanya sekitar 1,53 juta hektare,” tegas Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Kamis (18/12).

Dia menilai ekspansi sawit yang terjadi saat ini tidak mencerminkan kebutuhan nyata, tetapi justru memperbesar risiko kerusakan lingkungan dan bencana ekologis.

“Bicara ancaman bencana juga berlaku di seluruh wilayah Indonesia ketika hutan dikonversi menjadi sawit yang monokultur, lanskap akan kehilangan kemampuan alaminya yang berfungsi seperti 'spons' penyerap, sehingga memicu aliran permukaan (limpasan) ekstrem yang berujung terjadinya bencana,” jelasnya.

Forest Watch Indonesia (FWI) sebelumnya lewat Potret Keadaan Hutan Indonesia (PKHI) 2013–2017 sudah menegaskan bahwa kerentanan banjir di Pulau Sumatra meningkat seiring turunnya rasio tutupan hutan.

Hal tersebut berdampak pada daya dukung dan daya tampung ekosistem di pulau tersebut kian menurun. Dengan hutan yang terus menyusut, risiko banjir di Sumatra akan terus naik dari waktu ke waktu. Data 2024 menunjukkan tutupan hutan di pulau ini tersisa 25%.

“Kerentanan Pulau Sumatra telah lama diproyeksikan, ditambah dengan paradigma pembangunan yang mengabaikan keberlanjutan ekologis dan UU Cipta Kerja menjadi instrumen pelengkap eksploitasi lingkungan dengan menghapus syarat minimal 30% tutupan hutan di wilayah DAS,” ujar Pengkampanye Hutan FWI, Tsabit Khairul Auni.

“Bencana ini memang kelalaian besar dari pemerintah dengan mengabaikan arsitektur kebijakan lingkungan yang rapuh dan eksploitatif,” ucapnya.

Kegagalan Sistemik Kebijakan Kehutanan

Lebih detail dalam konteks tiga provinsi yang terkena dampak banjir besar, FWI menegaskan deforestasi yang terus terjadi di Sumatra memperlihatkan kegagalan sistemik dalam kebijakan kehutanan, khususnya di wilayah yang seharusnya menjadi benteng ekologis.

FWI mencatat, luas hutan di Provinsi Aceh berkurang sekitar 177 ribu hektare dalam kurun tujuh tahun terakhir, atau setara 2,5 kali luas Singapura. Bahkan, dalam satu tahun hingga 2024 saja, Aceh telah kehilangan sekitar 16 ribu hektare hutan alam.

“Data deforestasi ini menunjukkan bahwa kerusakan hutan di Sumatra masih berlangsung dan cenderung dibiarkan. Kehilangan hutan dalam skala sebesar ini secara langsung melemahkan fungsi ekologis kawasan, meningkatkan risiko banjir dan longsor, serta mengancam keselamatan masyarakat,” tambah Mufti Barri, Direktur Eksekutif FWI.

FWI menilai paradigma pembangunan yang tidak mengedepankan keberlanjutan ekologis perlu diubah, tanpa evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan kehutanan dan peninjauan kembali izin-izin yang berada di kawasan hutan dan daerah aliran sungai, bencana ekologis akan terus berulang.

“Bencana Sumatra harus menjadi peringatan serius bahwa tanpa perubahan mendasar dalam tata kelola hutan dan lahan, krisis ekologis dan kemanusiaan akan terus berulang di berbagai wilayah Indonesia,” ujarnya.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Nuzulia Nur Rahmah