Investasi Energi Bersih Australia ke RI, Seberapa Besar Potensinya?

ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Ilustrasi pembangkit listrik panas bumi. Perusahaan asal Australia, Fortescue Metal Group (FMG), berminat mengembangkan industri hulu hingga hilir berbasis energi bersih di Indonesia.
7/9/2020, 20.18 WIB

Perusahaan asal Australia, Fortescue Metal Group (FMG), berminat mengembangkan industri hulu hingga hilir berbasis energi baru di Indonesia. Hal ini ditandai dengan rencana perusahaan yang bakal mengembangkan teknologi baru nol karbon.

Pemerintah Indonesia melalui Kemenko Bidang Kemaritiman dan Investasi menandatangani akta kesepakatan dengan perusahaan untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) guna mendukung industri hijau. Penandatanganannya dilakukan oleh Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Pendiri Fortescue Metals Group Andrew Forrest.

"Penandatanganan kesepakatan ini menunjukkan hubungan dekat dan strategis Indonesia dan Australia. Saya yakin upaya kita hari ini akan memperkuat landasan kemitraan untuk membangun masa depan yang lebih cerah bersama," kata Luhut di Kantor Kemenko Maritim dan Investasi, Jakarta, Jumat (4/9, dikutip dari Antara.

Melalui akta kesepakatan itu, akan ada satuan tugas gabungan untuk memfasilitasi, mempercepat dan merealisasikan investasi FMG dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga air dan energi terbarukan dari tenaga panas bumi di Tanah Air. "Investasi ini, tidak termasuk infrastruktur pendukungnya, akan memakan puluhan miliar dolar,” ucap Luhut.

Dalam kesempatan itu, Andrew Forrest mengatakan pembangunan industri hijau di Indonesia akan menjadi fokus perusahaan. Adapun pengembangan ini nantinya akan melalui beberapa tahap.

Tahap pertama, perusahaan bakal berinvestasi dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga air  sebesar 60 giga Watt dan panas bumi 25 giga Watt. Tahap kedua, energi terbarukan yang telah diproduksi akan melalui tahap transmisi. Dari proses ini akan menghasilkan berbagai macam produk olahan hijau seperti baja, metal, hingga bentuk energi lainnya, termasuk pupuk.

Proyek pembangkit listrik dan energi terbarukan diharapkan akan mendukung industri hijau yang meningkatkan keterampilan tenaga kerja Indonesia. "Dan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat Indonesia," kata taipan dan penggiat filantropi asal Australia itu.

Presiden Joko Widodo sebelumnya juga memerintahkan para jajarannya untuk serius menjalankan program pemulihan lingkungan. Apalagi pada 2030, targetnya penurunan emisi gas rumah kaca dapat mencapai 29%.

Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin menilai rencana FMG merupakan langkah yang positif bagi pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia. Pasalnya, Indonesia memiliki potensi yang cukup besar, seperti pembangunan pembangkit listrik mini/mikro hidro, geotermal, dan solar.

"Seberapapun besarnya pengembangan baru energi baru dan terbarukan di Indonesia dampaknya positif, jadi harus selalu kita dorong," ujar dia kepada Katadata.co.id pada awal pekan ini.

Energi Terbarukan di Indonesia vs Australia

Pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan atau EBT pada 2025 mencapai 23% dan naik menjadi 31% pada 2050. Untuk bauran energi minyak bumi akan turun menjadi hanya 20% ada 2050, seperti terlihat grafik Databoks berikut ini.

Indonesia harus segera mewujudkan hal itu sebagai komitmen Kesepakatan Paris pada 2016. Seluruh dunia ditantang membatasi kenaikan suhu global di bawah dua derajat Celcius dan menuju nol emisi sebelum pertengahan abad ini.

Perkiraan dari Agensi Energi Internasional atau IEA, target itu baru tercapai jika 1.520 giga Watt pembangkit fosil di dunia dihentikan operasional sebelum 2040. Sebanyak 1.285 giga Watt dari angka itu berasal dari pembangkit listrik tenaga uap.

Negara ini telah menetapkan sasaran penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usahanya sendiri. Lalu, tambahan 12% dengan dukungan internasional pada 2030. Penyediaan energi bersih juga termasuk dalam tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG Indonesia.

Guna mengantisipasi semakin terbatasnya cadangan energi fosil nasional serta meningkatnya kebutuhan energi masyarakat pemerintah menggalakkan penggunaan energi baru terbarukan. Caranya, dengan penggunaan pembangkit tenaga energi panas bumi, tenaga surya, bioenergi, tenaga air dan tenaga angin. Namun, realisasinya masih minim. Pembangkit berbahan bakar fosil masih mendominasi.

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (2019-2028), pemerintah menargetkan bauran pembangkit listrik EBT sebesar 11,4% pada 2019. Angkanya meningkat menjadi 23,2% pada 2028.

Tidak hanya itu, pemerintah juga melakukan kebijakan penggunaan biofuel, yakni pencampuran bahan bakar mesin diesel dengan minyak sawit untuk mengurangi penggunaan energi fosil. Realisasinya belum menyamai konsumsi bahan bakar minyak.

Australia, yang juga menyepakati Kesepakatan Paris, diprediksi menjadi pemimpin global dalam mitigasi iklim dan ekspor energi nol karbon. Melansir dari The Guardian, pada 2050 negara itu dapat beroperasi penuh dengan listrik terbarukan dan menghasilkan dua kali lipat dari kebutuhannya.

Energi terbarukan akan menghasilkan 200% dari permintaan listrik domestik Austrlia. Di sinilah muncul peluang ekonomi dekarbonisasi dalam beberapa dekade mendatang. Namun, untuk mewujudkannya Negeri Kanguru membutuhkan negara lainnya beralih ke sistem energi nol karbon.

Situs Clean Energy Council Australia menuliskan, kapasitas energi listrik terbarukan di negaranya naik sebesar 2,2 giga Watt di 34 proyek pada 2019. Tenaga surya mencakup lebih dari dua pertiga kapasitas baru tersebut. Kapasitas ekstra ini meningkatkan kontribusi energi hijau terhadap total pembangkit listrik di sana hingga 24%.

Reporter: Verda Nano Setiawan