Pemakaian bahan bakar nabati atau BBN dari minyak sawit diperkirakan akan terus meningkat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan pemerintah akan mewajibkan pencampurannya dengan bahan bakar minyak alias BBM jenis solar.
Saat ini campuran biodiesel baru mencapai 30% sehingga bahan bakar ini disebut B30. Kementerian sedang melakukan uji coba untuk B40, bahkan diesel yang 100% dari sawit atau D100.
Arifin menyebut apabila target produksi minyak bumi 1 juta barel per hari diganti dengan BBN, maka kebutuhan lahan kelapa sawitnya mencapai 15 juta hektare. “Itu hasil kajian kami,” katanya ketika mengikuti rapat dengan Komisi VII DPR, Senin (23/11). Namun, ia tak merinci lebih jauh mengenai kajian tersebut.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat pemerintah sebaiknya tidak terobsesi mengembangkan biofuel dari minyak sawit. Masih banyak kekayaan nabati lain di Indonesia dan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bioekonomi.
Pembukaan lahan sebesar 15 juta hektare perlu dipertanyakan apakah menyasar kawasan hutan primer dan lahan gambut atau tidak. Pelaksanaannya dapat mengakibatkan deforestasi dan eksploitasi lahan. “Cara ini malah memperburuk krisis perubahan iklim,” ujar Fabby.
Sebaiknya, pemerintah mempercepat elektifikasi kendaraan listrik. Dengan perubahan bahan bakar kendaraan, maka permintaan BBM pun menurun. Selain itu, standar emisi pun perlu dinaikkan supaya konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor lebih efisien.
Program Biodiesel Dianggap Untungkan Pengusaha Sawit
Sebelumnya, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri mengatakan beberapa program pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait di sektor energi tampak tidak konsisten.
Misalnya, pemerintah mendorong program mandatori biodiesel dari kelapa sawit guna mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Di saat yang sama, ada pula program pengembangan empat kilang minyak dan pembangunan dua baru.
Kemudian, ada lagi rencana menggenjot proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) yang mahal biayanya sebagai substitusi elpiji. "Yang saya ingin garisbawahi adalah pemerintah maunya banyak tapi tidak jelas," kata Faisal dalam diskusi secara virtual, Rabu (19/11).
Ia juga menyorot program mandatori biodiesel yang sebetulnya hanya mengamankan dan menguntungkan segelintir taipan industri sawit. Padahal, secara nilai keekonomian dan lingkungan, program tersebut justru merugikan negara.
Pemerintah pun menyiapkan regulasi untuk mengamankan bisnis sawit. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menyebutkan sawit merupakan bahan bakar nabati atau biofuel satu-satunya. "Ini legitimasi untuk memperoleh dana subsidi berkelanjutan," kata dia.
Secara ekonomi, menurut dia, tidak ada kontribusi nyata pengembangan biodiesel. Meskipun dapat menekan impor solar, tapi anjloknya harga minyak mentah dunia saat ini membuat harga biodiesel menjadi lebih mahal daripada bahan bakar minyak atau BBM.