Ambisi Membangun PLTS Terapung Raksasa Demi Capai Target Bauran Energi

123rf.com/Rostislav Zatonskiy
Ilustrasi. PLN akan melakukan peletakan batu pertama pembangunan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS terapung terbesar di Waduk Cirata, Jawa Barat, pada 17 Desember 2020.
7/12/2020, 17.20 WIB

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jisman Hutajulu mengatakan pemerintah tengah menyiapkan RUPTL. Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan masih membahasnya dengan PLN.

Targetnya, pada Januari tahun depan rencana usaha itu dapat mulai berlaku. "Masih dibahas. Mudah-mudahan Desember akhir ditandatangani," ujar Jisman kepada Katadata.co.id, Senin (7/12).

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS.  (ANTARA FOTO/Kornelis Kaha)
 

RUPTL Diharapkan Lebih Realistis

Direktur eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengharapkan agar RUPTL 2021-2030 lebih realistis, mengingat konsumsi listrik akibat pandemi cukup rendah. Pemerintah sebaiknya merevisi program pembangunan PLTU 35 ribu megawatt sehingga tidak memberatkan PLN.

Selain itu, perlu perubahan skema take or pay dan renegosiasi tarif produsen listrik swasta atau IPP yang telah berjalan. Tujuanya, agar pembangkit yang berbiaya tinggi seperti bahan bakar diesel alias PLTD dapat diganti dengan yang lebih ramah lingkungan. 

Hal ini pun sesuai dengan amanat Rencana Umum Energi Nasional alias RUEN, yaitu target bauran energi pada 2025 adalah 23%. Apalagi, undang-undang EBT diprediksi bakal disahkan pada 2021 mendatang.

Ia berharap kondisi surplus listrik tidak membuat energi baru terbarukan kembali dikorbankan. Justru saat ini momen yang tepat untuk menghentikan pembangkit beremisi karbon tinggi. "Tantangan ke depan saya kira transisi energi fosil ke EBT," ujarnya.

PLN harus siap dengan perubahan itu. Misalnya, melalukan peningkatan keandalan dan pelayanan. Lalu, masalah tarif yang kerap menjadi masalah pengembangan energi terbarukan juga perlu segera diselesaikan.  

PLTS Atap Danone-Aqua (Danone Indonesia)

Tak Mudah Genjot Pembangkit EBT

Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa Mulyana mengatakan tak mudah menggenjot pembangkit energi baru terbarukan saat ini. PLN harus menaikkan sisi permintaan dulu karena kondisi pembangkit di banyak tempat telah kelebihan pasokan atau over supply.

Tantangan lainnya adalah stabilitas sistem. Mayoritas energi terbarukan bahan bakarnya tidak berkesinambungan, seperti matahari yang tidak muncul 24 jam dalam sehari. Sifatnya yang intermitten ini bakal semakin rumit apabila kendaraan listrik dan kompor induksi semakain banyak dipakai masyarakat. “Sedangkan pembangunan pembangkitnya masih berkutat dalam pembiayaan karena butuh dana yang besar,” ujar Iwa.  

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi memproyeksikan kondisi surplus listrik masih akan terjadi pada tahun depan. Kenaikannya baru terjadi lima tahun lagi ketika sektor industri mulai pulih setelah tertekan pandemi Covid-19. 

Dengan proyeksi tersebut, pembangunan pembangkit listrik EBT harus tetap dilakukan sehingga tidak terjadi defisit kebutuhan listrik. Yang perlu diperbaiki sekarang adalah bagaimana agar harga keekonomiannya tidak lebih mahal daripada energi fosil. Pemerintah perlu memberi insentif untuk mewujudkan hal tersebut. 

PLN sedang berupaya meningkatkan penggunaan energi terbarukan dalam penyediaan listrik. Porsi EBT dalam bauran energinya naik dari 10,7% pada 2015 menjadi 14,2% pada September 2020.

Berbagai program dijalankan untuk mengoptimalkan pemanfaatan energi bersih. Misalnya, mendorong konversi pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke EBT. Tahap pertama dilangsungkan di 200 lokasi dengan kapasitas total 225 mega watt (MW) yang ditargetkan beroperasi pada 2023.

Selain itu, PLN juga mengoptimalkan pemanfaatan energi matahari dengan pengembangan solar photovoltaic (PV) melalui pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Saat ini sudah ada 136 PLTS dengan kapasitas 78,3 MW.

Executive Vice President Corporate Communication and CSR PLN Agung Murdifi sebelumnya mengatakan dengan substitusi pembangkit, Indonesia tidak perlu lagi mengandalkan bahan bakar minyak atau BBM, yang mayoritas produk impor. “Sejalan pula dengan program pemerintah untuk menghadirkan listrik merata sampai ke pelosok," ujarnya beberapa waktu lalu.

Penentuan konversi pembangkit akan menyesuaikan hasil pemetaan potensi sumber energi terbarukan yang ada di lokasi. Untuk daerah terpencil paling potensial adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan biomassa.

Soal anggaran, PLN berhitung program konversi ini butuh dana Rp 100 triliun. Perusahaan setrum negara ini bakal menggandeng Bank Pembangunan Asia alias ADB. 

Direktur Mega Proyek PLN Ikhsan Asaad mengakui cukup mudah mendapatkan dana pembangkit EBT ketimbang energi fosil. Pasalnya, gerakan untuk mengurangi bahan bakar fosil demi mencegah perubahan iklim sudah masuk skala global.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan