Potensi Besar Institusi Keuangan Masuk Pembiayaan Berkelanjutan

123rf.com/warat42
Ilustrasi. Lembaga keuangan mulai bergerak pada proyek pembangunan berkelanjutan.
22/1/2021, 17.14 WIB
  • Model pembiayaan berkelanjutan atau green financing di Indonesia masih relatif kecil tapi potensinya cukup besar. 
  • Pembiayaan kegiatan usaha berkelanjutan sekitar 20% dari total portofolio BCA.
  • Pandemi Covid-19 mempercepat model pendanaan tersebut, terutama penerbitan obligasi hijau. 

Lembaga keuangan mulai bergerak pada proyek pembangunan berkelanjutan. Yang teranyar, Dewan Energi Nasional meneken nota kesepahaman dengan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk dan PT Len Industri untuk proyek serupa.

Penandatanganan itu dalam rangka kerja sama pembiayaan dan pemasangan sistem pembangkit listrik tenaga surya atap atau PLTS Atap. BRI bakal memberikan bantuan pembiayaan tanpa agunan dan uang muka kepada DEN. Lalu, Len yang menyediakan dan memasang pembangkitnya.

Rencananya, PLTS Atap itu akan terpasang di lingkungan kantor atau perumahan pegawai Sekretariat Jenderal DEN. Untuk skema pembiayaannya, BRI memberikan jangka waktu yang fleksibel. Misalnya, tenor sampai 15 tahun dengan suku bunga 0,92%. 

Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto mengatakan skema tersebut membantu para pegawai secara signifikan. “Kreditnya jangka panjang, disesuaikan kemampuan,” kata dia dalam konferensi pers secara virtual, kemarin.

Sebagai contoh, karyawan yang memiliki tagihan listrik per bulan di kisaran Rp 1,5 juta per bulan, dapat menghemat menjadi Rp 1 juta per bulan dengan PLTS Atap. Uang hasil penghematan ini kemudian untuk membayar cicilan pemasangan pembangkit ke BRI. 

Dengan adanya skema pembiayaan ini, diharapkan semakin banyak masyarakat yang mulai menggunakan PLTS Atap untuk mendukung target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% di 2025. 

Langkah ini juga sejalan dengan komitmen menjaga kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat Celcius seperti Perjanjian Paris 2015. Target nasional pengurangan emisi nasional atau nationally determined contribution (NDC) dalam perjanjian itu adalah 29% dengan upaya sendiri di 2030. Kalau dengan bantuan internasional, penurunannya mencapai 41%. 

Databoks berikut ini menampilkan realisasi penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi dan sumber daya mineral.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan model pembiayaan berkelanjutan atau green financing di Indonesia masih relatif kecil. Namun, potensinya untuk jangka panjang cukup besar. 

Salah satu tantangannya adalah proses pembiayaan berkelanjutan membutuhkan waktu lebih panjang dibandingkan yang biasa. Setiap memberi pinjaman, perbankan harus memeriksa dulu aspek lingkungan, sosial, dan tata kelolanya alias ESG (environment, social, governance). Untuk mendapatkan sertifikasi ESG ini sangat ketat. 

Selain itu, beberapa bank masih menganggap sektor ekstratif dan industri yang belum ramah lingkungan secara margin keuntungan tetap menguntungkan. “Bank cenderung lebih realistis,” ucapnya. 

Harapannya, situasi ini akan berubah. Investor atau perbankan asing bakal bekerja sama dengan perbankan domestik untuk menerapkan ESG yang ketat. “Jadi, lama-lama green financing menjadi kebutuhan,” ujar Bhima kepada Katadata.co.id, Jumat (22/1). 

Cakupannya nanti tak sekadar energi baru terbarukan atau EBT, tapi juga sektor usaha yang mengedepankan bisnis hijau. Industri akan masuk ke teknologi ramah lingkungan, begitu pula dengan pertanian.

Skema pembiayaannya tak bisa mengharapkan dari perbankan. Potensi besar sebenarnya melalui sekuritisasi aset. Misalnya, penerbitan surat utang berwawasan lingkungan atau green bond. Semakin banyak opsinya, menurut Bhima, investor akan tertarik menempatkan dana di green financing

Insentif bagi bank yang menyalurkan pembiayaan berkelanjutan juga perlu ditambah. Saat ini jumlahnya masih sedikit tapi biaya dan risiko kreditnya tinggi dibandingkan sektor ekstraktif. 

Bank juga dapat memberikan tambahan skema pembiayaan, misalnya subsidi bunga untuk proyek energi terbarukan. “Atau penurunan loan to value (LTV atau rasio kredit terhadap nilai agunan) untuk pembiayaan kredit mobil listrik,” kata Bhima. 

Model pembiayaan berkelanjutan masih langkah permulaan di Indonesia. “Potensinya sebenarnya besar tapi impact-nya pelan,” kata Analis Valbury Asia Futures Lukman Leong

Untuk negara berkembang seperti Indonesia, pembiayaan berkelanjutan sebenarnya masih belum sesuai. Perekonomian saat ini masih bergantung pada sektor dan industri belum ramah lingkungan "Minimal setelah Indonesia sudah masuk kategori negara dengan pendapatan menengah," katanya.

Ilustrasi proyek energi baru terbarukan, yaitu pembangkit listrik tenaga ain alias PLTB.  (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

BCA Genjot Pembiayaan Berkelanjutan

Tren menyalurkan dana ke investasi berkelanjutan juga terjadi di PT Bank Central Asia Tbk. Hingga kuartal III tahun lalu, pembiayaan pada sektor ini mencapai Rp 114 Triliun atau naik 2,6% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Executive Vice President Secretariat & Corporate Communication BCA Hera F Haryn mengatakan portofolio pembiayaan kegiatan usaha berkelanjutan ini sekitar 20% dari total pembiayaan BCA. Kredit hijau pada 2019 adalah sebesar Rp 116,3 Triliun dan 2018 sebesar Rp 102,2 Triliun.

Pembiayaan berkelanjutan itu tersalurkan ke energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan sumber daya alam hayati, dan penggunaan lahan berkelanjutan, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Perusahaan juga terus berusaha meningkatkan fungsi intermediary sekalipun di tengah kondisi pandemi Covid-19. Strategi BCA untuk mendukung implementasi sustainable finance adalah mendukung pembiayaan berwawasan ESG. "Prinsipnya berkelanjutan dengan tetap berpegang pada prudent banking principle," ujarnya.

Ilustrasi proyek energi baru terbarukan, pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS Terapung di Cirata, Jawa Barat.  (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Pandemi Percepat Obligasi Berwawasan Lingkungan

Dalam beberapa tahun terakhir, tren investasi dengan mengedepankan prinsip berkelanjutan memang mulai masif terjadi. Terutama pada negara-negara maju. Pandemi Covid-19 yang masih berlangsung membuat para pemimpin dunia mulai sadar untuk mengedepankan ekonomi yang berbasis lingkungan.

Survei penerbitan obligasi hijau, sosial, dan keberlanjutan (GSS) yang diterbitkan Climate Bonds Initiative pada 2020, ada 19 kawasan yang menerbitkan surat utang negara (SUN) berwawasan ESG. Obligasi yang diterbitkan mewakili setengah dari total surat utang yang beredar. Nilainya mencapai US$ 45 triliun.

Untuk pemerintah dengan akses ke domestik dan pasar modal internasional, penerbitan obligasi hijau dapat menarik investasi. Dananya untuk pembangunan berkelanjutan serta membantu target nasional pengurangan emisi atau NDC berdasarkan Perjanjian Paris. Beberapa ekonomi utama dunia, termasuk wilayah Eropa bagian utara dan Jerman, telah menyatakan akan fokus pada pengembangan proyek hijau berkelanjutan.

Dari 19 penerbit tersebut, delapan berasal dari pasar negara maju. Rinciannya adalah Prancis, Belgia, Irlandia, Belanda, Hong Kong, Swedia, Jerman dengan penerbitan green bonds, dan Luxemburg dengan penerbitan sustainability bonds

Kemudian, 11 penerbit berasal dari negara berkembang dengan perekonomian rendah menuju ke level menengah. Rinciannya, Polandia, Mesir, Fiji, Nigeria, Indonesia, Lithuania, Seychelles, Chile, dan Hongaria. Semuanya menerbitkan green bonds. Sedangkan Thailand dan Meksiko mengeluarkan sustainability bonds

Dalam survei tersebut ada beberapa faktor yang membuat negara menerbitkan obligasi berwawasan lingkungan. Banyak yang mulai sadar untuk mencapai target NDC, menangani tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDG, serta mitigasi perubahan iklim.

Proses penerbitan obligasi GSS pemerintah biasanya melibatkan anggaran dan komitmen untuk melaporkan hasil alokasi dan dampaknya. Audit ini meningkatkan transparansi pemerintah dan memperluas investor. 

Nah, basis investor yang lebih luas memfasilitasi penetapan harga yang lebih ketat. "Sehingga jika ini terus berlanjut, kami mengharapkan pengelolaan utang dalam negeri yang mendorong pemerintah mengidentifikasi saluran pengeluaran GSS yang sesuai," tulis Climate Bonds Initiative Survey.

Dalam menerbitkan obligasi GSS, pemerintah memerlukan waktu yang cukup lama setelah keputusan diambil. Sebanyak 89% dari penerbit menyatakan butuh satu tahun atau kurang untuk menerbitkannya.

Managing Director, ESG Solutions, Global Banking, HSBC Jonathan Drew mengatakan dunia saat ini tengah fokus pada transisi ke ekonomi rendah karbon. Karena itu, penerbitan obligasi ESG sangat penting untuk mendanai investasi hijau.

Penerbitan obligasi hijau, menurut dia, telah menjadi kunci dalam meningkatkan kesadaran masyarakat akan kebutuhan yang mendesak, yaitu mengatasi perubahan iklim. “Kondisi ini dapat menjadi katalisator mendorong perusahaan swasta dan lembaga emiten untuk mengikutinya," kata dia.

CEO Climate Bonds Initiative Sean Kidney mengatakan penerbitan obligasi hijau mengirimkan sinyal kuat kepada publik dan investor. Pemerintah dan regulator berkomitmen melakukan aksi mencegah pemanasan global. Pasar domestik pun akan semakin berkembang. 

Reporter: Verda Nano Setiawan