Segmen Sepeda Motor dalam Bidikan Bisnis Baterai RI

123rf.com/gmast3r
Ilustrasi sepeda motor listrik
30/3/2021, 18.02 WIB
  • Salah satu fokus Indonesia Battery Corporation adalah pengembangan baterai untuk sepeda motor listrik. 
  • Langkah tersebut dinilai tepat karena lebih mudah dan jumlah pengguna sepeda motor yang cukup banyak.
  • Produsen otomotif butuh insentif untuk mengembangkan kendaraan listrik. 

Indonesia Battery Corporation alias IBC telah terbentuk pekan lalu. Pemerintah menetapkan sejumlah rencana besar ke depannya. Mulai dari pengembangan baterai kendaraan listrik hingga sistem penyimpanan energi (ESS) untuk pembangkit listrik energi terbarukan.

Dalam holding tersebut, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) atau MIND ID bersama PT Aneka Tambang Tbk (Antam) berperan untuk menyediakan bijih nikel. Pertamina menjalankan bisnis manufaktur produk hilir meliputi pembuatan sel baterai, baterai pack, dan ESS.  

Sedangkan PLN akan berperan untuk pembuatan sel baterai, penyediaan infrastruktur stasiun pengisian kendaraan listrik umum atau SPKLU, dan pengintegrasian sistem manajemen energi (energy management system/EMS). Porsi kepemilikan saham masing-masing badan usaha milik negara atau BUMN tersebut adalah 25%.

Holding atau induk usaha baterai itu nantinya tidak hanya fokus pada konsumen mobil listrik, tapi juga roda dua. “Jadi ini perjanjian yang win-win. Mobil kami ngalah. Tapi motor listrik dan stabilisator yang jadi leading sector,” ujar Menteri BUMN Erick Thohir pada Jumat (26/3). 

Sejak 1956, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia didominasi oleh sepeda motor. Data Badan Pusat Statistik mencatat jumlahnya pada tahun tersebut mencapai 67.194 unit. Angkanya sekitar 37,1% dari total kendaraan sebanyak 181.046 unit, seperti terlihat pada Databoks berikut ini.

Penjualan dan ekspor sepeda motor mencapai angka tertinggi pada awal 2020. Namun, jumlahnya terus menurun hingga pertengahan tahun karena pandemi Covid-19.

Untuk pasokan listrik, negara ini masih bergantung pada pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU). Kontribusi dari pembangkit energi terbarukan masih kurang dari 10%. ESS nantinya menjadi stabilisator untuk menopang beban puncak alias peaker

Pengembangan Baterai di RI untuk Sepeda Motor

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan Indonesia memang lebih tepat menyasar baterai untuk kendaraan roda dua terlebih dahulu. Selain lebih mudah, jumlahnya juga cukup banyak.

Dengan fokus pemerintah menyasar pengguna roda dua, transformasi penggunaan kendaraan berbasis bensin ke baterai di Indonesia menjadi lebih cepat. Demikian pula dengan stabilisator pembangkit listrik. 

Namun, langkah itu tidak otomatis membuat emisi karbon berkurang. Dalam catatannya, penggunaan bahan bakar minyak (BBM) terbanyak bukan berasal dari kendaraan roda dua. “Penurunan emisi akan lebih cepat apabila terjadi pula transisi energi di kendaraan roda empat,” kata Surya. 

Laporan Bank Dunia tahun 2018 menunjukkan bahwa keterlibatan Indonesia dalam rantai pasok global di industri kendaraan listrik atau EV sangat kecil. Padahal potensi pengolahan bahan baku baterainya dan komponen kendaraan listrik banyak tersedia di Indonesia, contohnya nikel. 

Komoditas tambang itu berperan penting dalam pembuatan baterai. Nikel menjadi material pembuatan katoda (kutub positif) yang membuat energi baterai lebih padat sehingga jarak tempuh EV pun lebih jauh. 

Jika Indonesia Battery Corporation dapat mendorong hingga ekspor baterai, maka akan menarik minat produsen lainnya beralih ke baterai. “Jadi, BUMN memang harus menjadi first mover,” kata peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira.

Pergeseran segmen pembuatan baterai listrik dari roda empat ke roda dua, menurut dia, bisa terjadi lantaran tekanan dari produsen mobil yang belum siap melakukannya. Namun, konsumen sepeda motor pun akan sulit menerimanya karena mayoritas penggunanya berasal dari kelas menengah ke bawah. 

Bhima pun menyarankan agar pemerintah tidak gampang silau dengan adopsi baterai untuk kendaraan roda dua. Di negara manapun selalu mulai dari mobil listrik karena persoalan harga. “Produknya dibeli segmen menengah ke atas dengan pertimbangan lingkungan yang relatif tinggi, dibanding kelas konsumen lainnya," katanya.

Saat dikonfirmasi kembali, Ketua Tim Percepatan Pengembangan Proyek Baterai Kendaraan Listrik Agus Tjahjana Wirakusumah mengatakan pemerintah masih tetap berencana untuk menyasar sektor baterai listrik kendaraan roda dua dan pasar stabilisator baterai. 

Beberapa investor asing telah menyatakan tertarik masuk dalam bisnis itu. Contemporary Amperex Technology (CATL) asal Tiongkok dan LG Chem dari Korea Selatan bakal menggelontorkan dana dalam jumlah besar.

Namun, menurut Agus, harus ada kesepakatan kerja sama terlebih dahulu dengan kedua perusahaan itu. "Tunggu hasil studi bersama, baru diputuskan," kata dia.

Stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) PLN.  (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Peluang RI Jadi Produsen Baterai Dunia

Direktur Riset Center Of Reform on Economics Piter Abdullah Redjalam menilai ada dua faktor utama yang membuat Indonesia mempunyai peluang untuk menjadi raksasa penghasil baterai di dunia. Pertama, memiliki sumber daya alam untuk membuat baterai. Kedua, mempunyai pasar dalam negeri yang besar.

Untuk merealisasikannya butuh jalan panjang dan berliku. Misalnya, bagaimana meyakinkan industri otomotif yang ada saat ini. "Setahu saya mereka tidak menolak, justru mendukung. Tetapi mereka perlu diyakinkan dengan tahapan-tahapan yang sesuai," kata dia.

Pemerintah sedang membuat peta jalan atau roadmap pembangunan industri baterai tersebut. Penyediaan infrastruktur ke depan juga harus masuk di dalamnya. Dengan begitu, industri otomotif mau bergerak cepat menyesuaikan diri. 

Insentif menjadi kunci penting dalam proses pengembangan kendaraan listrik di Indonesia. Transisi kendaraan ini perlu biaya besar bagi produsen otomotif. “Misalnya, mereka mungkin harus mengubah pabrik dan sebagainya, juga akan mengalami penurunan produksi terlebih dahulu," ucap Piter.

Secara keseluruhan, tantangan terbesarnya adalah fokus dan konsistensi kebijakan pemerintah. Ini adalah penentu keberhasilan sekaligus bisa menjadi hambatan terbesar. "Pemerintah umumnya lemah di sini," ujarnya. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan negara ini jelas memiliki peluang menjadi produsen baterai terbesar. Sumber daya yang dimiliki untuk bahan baku cukup melimpah. 

Potensi pasar dan integrasi rantai pasok dari hulu hingga hilir terbuka lebar. “Perkiraannya, biaya produksi baterai di Indonesia juga bisa lebih murah dibandingkan di Tiongkok," kata Fabby.

Seperti diketahui, pemerintah menargetkan penggunaan 2 juta mobil listrik dan 13 juta motor listrik pada 2030. Hal ini sejalan dengan pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis baterai untuk transportasi jalan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan dengan pertumbuhan kendaraan bermotor yang tinggi, ketergantungan terhadap bahan bakar minyak atau BBM pun terus meningkat. Konsumsinya mencapai 1,2 juta barel per hari dan sebagian besar merupakan produk impor.

Kementerian ESDM sedang menyusun strategi besar penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai atau KBLBB. Target pengurangan impornya setara 77 ribu barel minyak per hari (BOPD).

Dengan penggunaan 2 juta unit mobil listrik dan 13 juta unit motor listrik, penghematan devisanya mencapai US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 25,4 triliun. “Penurunan emisi karbondioksidanya mencapai 11,1 juta ton,” kata Arifin beberapa waktu lalu.

Kementerian juga telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 13 Tahun 2020 tentang penyediaan infrastruktur pengisian listrik. Termasuk di dalamnya rencana pembangunan SPKLU dan stasiun penukaran baterai kendaraan listrik umum (SPBKLU). Targetnya, pembangunan SPKLU dapat mencapai 2.400 titik di 2025. Lalu, SPBKLU di 10 ribu titik.

Reporter: Verda Nano Setiawan