Syarat agar Mobil Listrik Dapat Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca

ANTARA FOTO/Moch Asim
Pemilik mobil listrik mengisi daya kendaraannya di sela-sela peresmian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) PLN di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (29/2/2020).
1/4/2021, 12.37 WIB

Pemerintah terus berupaya menggenjot pengembangan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) di Indonesia untuk mengurangi emisi karbondioksida (CO2) atau gas rumah kaca .

Untuk itu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menargetkan produksi 600 ribu unit mobil listrik dan 2,45 juta unit sepeda motor listrik pada 2030, yang diharapkan dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 2,7 juta ton untuk roda empat dan sebesar 1,1 juta ton untuk roda dua.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai untuk bisa mengurangi emisi gas rumah kaca, maka pemerintah perlu memperhitungkan emisi yang dihasilkan saat memproduksi listrik untuk mengisi baterai.

"Supaya kendaraan listrik bisa menurunkan emisi gas rumah kaca, maka faktor emisi listrik yang dipakai untuk mengisi baterai harus lebih rendah dari faktor emisi bahan bakar minyak (BBM) yang digantikannya," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (1/4).

Oleh karena itu, lanjutnya, perlu ada substitusi BBM dengan bahan bakar lain yang emisinya lebih rendah untuk memproduksi listrik. "Target ini kan dibuat oleh Kemenperin, kita tidak tahu apa asumsi dari target yang dibuat ini, dan asumsi yang dipakai untuk menunjukkan penurunan emisi gas rumah kaca," ujar Febby.

Berdasarkan perhitungan IESR, secara agregat dengan faktor emisi listrik pada 2019 sebesar 734 gr CO2/kWh, maka penggunaan kendaraan listrik tidak akan menghasilkan penurunan emisi CO2. Jika faktor emisi listrik turun menjadi 482 gr CO2/kWh baru bisa didapatkan penurunan emisi sebesar 20%.

Untuk itu, bauran energi terbarukan harus ditambah minimal 23% dan emisi dari PLTU batubara harus diturunkan. Sehingga faktor emisi di tahun 2030 bisa di bawah 500 gr CO2/kWh.

Pemerintah akan meningkatkan bauran energi dari Energi Baru Terbarukan (EBT) dan menurunkan bauran energi dari batu bara. EBT ditargetkan menjadi 23% pada 2025 dan naik menjadi 31% pada 2050.

Sedangkan untuk batu bara 30% pada 2025 dan turun jadi 25% pada 2050. Kelompok EBT sendiri termasuk di dalamnya adalah biodiesel, bioethanol, hidrogen, juga listrik. Simak databoks berikut:

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan bahwa pengembangan KBLBB akan beriringan dengan upaya menggenjot energi baru terbarukan.

Pemerintah akan meningkatkan pemakaian energi bersih, terutama pada pembangkit lsitrik, yang akan menjadi sumber daya kendaraan ramah lingkungan tersebut. "Apakah kita harus menunggu listrik bersih baru mobil listrik jalan? Nah, sekarang kami proses dua-duanya,” ujar Dadan beberapa waktu lalu, (24/2).

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita sebelumnya mengatakan bahwa untuk mencapai target produksi kendaraan listrik, ada tiga industri dalam negeri yang membangun fasilitas produksi KBLBB roda empat atau lebih dengan kapasitas 1.480 unit per tahun.

Dalam rangka mendorong industri KBLBB, pemerintah telah memberikan berbagai insentif fiskal dan nonfiskal. Untuk konsumen misalnya PPnBM 0% untuk pembelian mobil listrik, pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) paling tinggi 10%, uang muka minimum 0% dan bunga ringan, diskon penyambungan daya listrik, plat nomor khusus, dan insentif lainnya.

Sedangkan untuk perusahaan industri KBLBB, dapat memanfaatkan berbagai insentif seperti tax holiday, mini tax holiday, tax allowance, Pembebasan Bea Masuk, Bea Masuk Ditanggung Pemerintah, dan super tax deduction untuk kegiatan riset dan pengembangan.

Dia menambahkan, industri otomotif merupakan salah satu sektor andalan yang memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Saat ini, tercatat ada 21 perusahaan industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih yang ada di Indonesia.

Mereka telah menanamkan investasinya senilai Rp 71,35 triliun untuk kapasitas produksi sebesar 2,35 juta unit per tahun. Sektor ini mampu menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 38 ribu orang dan lebih dari 1,5 juta orang yang bekerja di sepanjang rantai nilai industri tersebut.

Reporter: Verda Nano Setiawan