ESDM: Mobil Listrik Ramah Lingkungan meski Listriknya 65% Batu Bara
Pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai atau KLBB akan beriringan dengan upaya menggenjot energi baru terbarukan atau EBT. Pemerintah akan meningkatkan pemakaian energi bersih, terutama pada pembangkit lsitrik, yang akan menjadi sumber daya kendaraan ramah lingkungan tersebut.
"Apakah kita harus menunggu listrik bersih baru mobil listrik jalan? Nah, sekarang kami proses dua-duanya,” kata Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana dalam diskusi Peran Energi Baru Terbarukan Untuk Mewujudkan Sustainable City di Indonesia, Rabu (24/2).
Meskipun pembangkit listrik berbahan bakar batu bara alias PLTU masih mendominasi, program percepatan kendaraan listrik tetap beriringan dengan program pengurangan emisi karbon. “Mobil listrik tetap ramah lingkungan meskipun listriknya 65% batu bara,” ujarnya.
Program percepatan mobil listrik ini sebelumnya mendapat kritik. Salah satunya berasal dari Komisi VII DPR. Kebijakan itu dianggap tak sejalan dengan target penurunan emisi karbon dan bauran energi.
Upaya meningkatkan kendaraan listrik atau EV bakal mendorong kebutuhan setrum domestik untuk mengisi baterai. Namun, sampai sekarang mayoritas pasokannya masih berasal dari PLTU.
Target bauran energi dari fosil ke baru terbarukan sebesar 23% di 2025 pun berjalan lamban. Capaiannya pada tahun lalu hanya 11,5% dari patokan 13%. Mayoritas pembangkit masih dari bahan bakar fosil yang menyumbang besar ke emisi karbon.
Anggota Komisi VII Ratna Juwita mendorong peta jalan yang jelas soal ini. Terutama terkait sumber energi untuk kebutuhan kendaraan listrik. “Percepatan KLBBB ini tak sesuai dengan transformasi energi. Kalau otomatis kita pakai batu bara lagi, sama saja bohong,” ucapnya.
Sektor Energi Sumbang Emisi Karbon Terbesar
Berdasarkan data Climate Watch, energi merupakan kontributor terbesar emisi gas rumah kaca. Sektor tersebut mampu menghasilkan 36,44 gigaton karbon dioksida ekuivalen (Gt CO2e) atau 71,5% dari total emisi pada 2017 lalu.
Besarnya kontribusi sektor energi terhadap emisi gas rumah kaca terjadi di banyak negara. Di Uni Eropa misalnya, emisi gas rumah kaca dari sektor energi disokong kegiatan industri, rumah tangga, dan transportasi.
Kondisi serupa juga terjadi di Amerika Serikat (AS) yang banyak disumbang pembakaran bahan bakar fosil, seperti dikutip dari Badan Perlindungan Lingkungan AS (EPA).
Pertanian serta perubahan tata guna lahan dan hutan (land-use change and forestry/LULUCF) turut berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca global. Kedua sektor tersebut masing-masing berkontribusi menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 5,88 Gt CO2e dan 3,22 Gt CO2e.
World Research Institute (WRI) mencatat, lebih dari setengah emisi gas rumah kaca global disumbang sepuluh negara di dunia. Dari data Climate Watch yang dirilis WRI Indonesia, Tiongkok menjadi kontributor emisi gas rumah kaca terbesar hingga awal 2018.
The pandemic has led Indonesia to revisit its roadmap to the future. This year, we invite our distinguished panel and audience to examine this simple yet impactful statement:
Reimagining Indonesia’s Future
Join us in envisioning a bright future for Indonesia, in a post-pandemic world and beyond at Indonesia Data and Economic Conference 2021. Register Now Here!