Jerat Bahan Bakar Fosil Membayangi Upaya Pengurangan Emisi

Image title
3 Maret 2021, 15:58
energi fosil, energi terbarukan, ebt, emisi karbon, perubahan iklim, krisis energi, transisi energi
123RF.com/tomwang
Ilustrasi pembangkit listrik
  • Strategi transisi energi Indonesia adalah gradual sehingga dinilai tidak ambisius. 
  • Krisis iklim di dunia sudah terjadi dan bakal memburuk kalau Indonesia tidak melakukan transisi energi yang radikal.
  • Pemerintah perlu membuka opsi penghentian operasional PLTU untuk mengurangi emisi karbon.

Ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar fosil masih besar. Kondisi ini membuat pemerintah perlu berusaha lebih keras untuk bertransisi ke energi bersih.

Dalam rencana umum energi nasional alias RUEN, bauran energi baru terbarukan (EBT) bakal mencapai 23 %, minyak bumi 25 %, gas bumi 22 %, dan batu bara 30 % pada 2025. Lalu, pada 2050, porsi energi bersih naik jadi 31 %. Realisasinya saat ini baru sekitar 12 %.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan Indonesia tidak bisa sepenuhnya lepas dari energi fosil. Proses transisi energinya tidak dapat disamakan dengan negara-negara maju yang menyatakan diri akan bebas emisi karbon pada tengah abad ini.

Prancis, misalnya, mendorong penghentian pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). “Harus diingat, negara ini bukan penghasil batu bara,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (3/3).

World Research Institute (WRI) mencatat, lebih dari setengah emisi gas rumah kaca global disumbang sepuluh negara di dunia. Dari data Climate Watch yang dirilis WRI Indonesia, Tiongkok menjadi kontributor emisi gas rumah kaca terbesar hingga awal 2018.

Berdasarkan data Climate Watch pada 2017, sumber emisi karbon dioksida global didominasi sektor energi. Pembangkit listrik, transportasi, dan pemanfaatan bahan bakar fosil berkontribusi terhadap 72 % pembentukan gas rumah kaca.

Besarnya kontribusi sektor energi terhadap emisi gas rumah kaca terjadi di banyak negara. Di Uni Eropa misalnya, emisi  dari sektor energi disokong kegiatan industri, rumah tangga, dan transportasi. Kondisi serupa juga terjadi di Amerika Serikat (AS) yang banyak disumbang pembakaran bahan bakar fosil.

Satya menyebut setiap negara memiliki strategi masing-masing untuk menghadapi perubahan iklim. “Strategi Indonesia tidak pushing out tapi mengurangi pemanfaatan energi fosil secara gradual,” ucapnya. 

Indonesia, menurut dia, belum dapat sepenuhnya beralih ke energi bersih karena pembangkit listrik ramah lingkungan bersifat intermittent alias sumber listriknya tidak tersedia terus-menerus. 

Pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), misalnya, bergantung pada kecepatan angin. Lalu, pembangkit air terkait debit air. Untuk Tenaga surya, juga berpatokan pada intensitas sinar matahari. 

Persoalan tersebut sebenarnya dapat teratasi dengan energi nuklir dan panas bumi. Pemanfaatan nuklir masih menjadi kontroversi karena risikonya tinggi. “Geothermal (panas bumi) punya keterbatasan di daerah hutan lindung dan pegunungan,” ucap Satya. 

Pemerintah, Satya berpendapat, lebih bijaksana menekan emisi karbon dioksida secara bertahap. Apalagi, Indonesia penghasil batu bara yang besar. Penerimaan negara bukan pajak atau PNBP dari barang tambang ini cukup besar untuk negara.

Sebagai informasi, dalam Perjanjian Paris 2015, sebanyak 195 negara telah sepakat menurunkan emisi karbon untuk mencegah perubahan iklim. Indonesia termasuk di dalamnya.

Pemerintah meratifikasinya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Perjanjian Paris. Di dalamnya tertulis target pengurangan emisi negara ini atau nationally determined contribution (NDC) adalah 29 % dengan upaya sendiri dan 41 % dengan bantuan internasional di 2030. 

Dua skenario itu menunjukkan upaya mengurangi emisi. “Bukan menjadi 0 % karbon. Ini yang membedakan strategi kita dengan negara lain,” kata Satya.

Pltb Jeneponto
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga angin atau PLTB.  (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Revisi Rencana Umum Energi Nasional

DEN saat ini sedang melakukan revisi rencana umum energi nasional (RUEN). Acuan sektor energi itu sudah tidak sesuai karena asumsi makro yang dibuat pemerintah meleset dari target. 

Target pertumbuhan ekonomi dalam RUEN saat ini terlalu ambisius. Pemerintah mematoknya di angka 7 hingga 8 %. Sedangkan realisasinya jauh dari patokan karena pandemi Covid-19 yang menekan sektor ekonomi.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Editor: Sorta Tobing
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...