Transisi Energi Dunia, Potensi Aset Telantar Gas Lebih Rp 1.500 T

Katadata
Ilustrasi infrastruktur gas.
Penulis: Happy Fajrian
14/5/2021, 17.23 WIB

Transisi energi dari bahan bakar fosil menuju sumber energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan semakin kencang. Kini arah transisi energi juga menyasar gas. Ini berpotensi menciptakan aset telantar infrastruktur gas dunia mencapai lebih Rp 1.500 triliun.

Perbankan besar dunia seperti Citigroup dan JPMorgan Chase termasuk di antara bank yang membatasi pembiayaan pada batu bara. Namun di tengah tekanan para pemegang sahamnya yang ingin menghindari bahan bakar fosil, pembiayaan gas juga akan dibatasi.

Meski sudah mulai dibatasi, pembiayaan terhadap proyek bahan bakar fosil seperti jaringan pipa minyak dan gas, serta terminal bahan bakar masih berlangsung. Di sisi lain berbagai negara di dunia mulai menetapkan target net zero emissions atau emisi karbon. Seperti Eropa yang menargetkan pada 2050.

Ketika target net zero emission tercapai, akan ada potensi risiko aset terlantar dari infrastruktur . Menurut laporan Global Energy Monitor, nilai aset tersebut diperkirakan mencapai US$ 104 miliar atau hampir Rp 1.500 triliun.

Para eksekutif di beberapa perusahaan energi di Eropa mengatakan bahwa mereka sudah berupaya menjual fasilitas dan infrastruktur gas namun tidak ada yang berminat.

"Jika Anda menemukan seseorang yang siap menawarkan harga yang bagus untuk pabrik gas kami, maka kami siap menjualnya," kata CEO Iberdola SA yang berbasis di Spanyol, Jose Ignacio Sanchez Galan seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (14/5).

Menurut lembaga kajian (think tank) REN21, pemerintah di 834 kota yang tersebar di 72 negara telah mengadopsi target energi terbarukan pada 2020. Kota yang telah menerapkan target energi terbarukan didominasi Eropa dan Amerika Utara. Simak databoks berikut:

Biaya pembangkit energi terbarukan semakin murah. Ini membuat pembangkit gas menjadi kurang kompetitif. Namun transisi pembangkit gas hanyalah tahap awal, selanjutnya akan diperluas hingga hingga hal terkecil seperti pemanas, transportasi, dan industri. Ini berpotensi menimbulkan lebih banyak aset terlantar.

Italia, misalnya, menurut Carbon Tracker Initiative Ltd. masih memiliki rencana untuk membangun pembangkit listrik gas berkapasitas 14 gigawatt (GW) baru yang sebagian besar untuk menggantikan pembangkit berbahan bakar batu bara.

Perusahaan utilitas terbesar di Eropa, Enel SpA, merupakan pengusung energi terbarukan global terdepan. Namun sekitar 40% dari 88 GW kapasitas energi terpasang perusahaan bersumber dari batu bara, minyak dan gas bumi.

Meski demikian perusahaan asal Italia ini berencana mengurangi pembangkit batu bara hingga 74% pada 2022. Meskipun perusahaan berencana mengurangi penggunaan gas, mereka masih memiliki rencana untuk meningkatkan kapasitas pembangkit gasnya.

“Yang paling penting arahnya (transisi energi) jelas. Itu tidak akan berubah. Setiap orang harus memahami bahwa kita tidak bisa mengubah dunia dalam satu hari,” ujar kepala pembangkit listrik global Enel, Salvatore Bernabei.

Ilustrasi PLTU. (Katadata/Ratri Kartika)

Mengurangi konsumsi gas diperkirakan akan lebih cepat dibandingkan batu bara. Pasalnya di tambang batu bara menyediakan ribuan pekerjaan. Sementara energi terbarukan menjadi alternatif yang semakin hemat biaya.

“Pembangkit listrik gas akan tersisih seperti halnya pembangkit batu bara, tapi jauh lebih cepat, sangat-sangat cepat,” kata kepala penelitian Carbon Tracker, Catharina Hillenbrand von der Neyen.

Tren ini sudah terjadi di Inggris, di mana pembangkit listrik gas skala besar tidak akan dibangun tanpa teknologi untuk mengurangi emisi, misalnya penangkapan karbon (carbon capture). Bahkan perusahaan energi asal Skotlandia, Scottish and Southern Energy (SSE), menyatakan tidak ada masa depan untuk pembangkit gas baru tanpa terintegrasi dengan teknologi carbon capture atau hidrogen.

Perusahaan energi asal Perancis, Electricite de France SA tidak akan lagi mengoperasikan pembangkit listrik berbahan bakar fosil di Inggris setelah menjual pembangkit listrik berbahan gas terakhirnya ke EIG Global Energy Partners.

Tekanan Investor

Investor yang mengejar agenda ESG (environmental, social, & governance) akan menambah tekanan kepada perusahaan untuk keluar dari gas. BlackRock dan Vanguard Group adalah dua di antara 40 lebih perusahaan investasi yang menargetkan net zero emissions dari seluruh portofolionya pada 2050.

Perusahaan energi terbesar Portugal, Energias de Portugal SA, mengatakan akan meninggalkan dua pabrik batu baranya yang tersisa pada 2025, menutup satu dan mungkin menjual yang satunya lagi.

“Ada peningkatan jumlah dana yang mengurangi atau menghindari perusahaan dengan batu bara,” kata CEO EDP Miguel Stilwell de Andrade. “Kami tidak akan menunggu sampai orang memberi tahu kami bahwa gas tidak akan digunakan lagi. Kami akan memastikan kami keluar dari batu bara lebih dulu.”

Sementara wakil presiden eksekutif Komisi Eropa Frans Timmermans menyatakan tidak ada gunanya membangun aset yang tidak akan berguna dalam beberapa tahun lagi. “Eropa dapat melewati transisi dan langsung membersihkan aset dengan fokus pada proyek yang tepat sekarang,” katanya.

Dia menambahkan bahwa perusahaan saat ini perlu berinvestasi untuk menciptakan masyarakat yang berkelanjutan. Jika modal tidak dibelanjakan dengan baik, maka akan menciptakan aset terbengkalai yang akan membebani generasi berikutnya.

Sementara transisi sepenuhnya dari gas di Amerika Serikat (AS) kemungkinan akan lebih lambat. Pasalnya pemerintah federal negeri Paman Sam tidak memandatkan transisi dari bahan bakar fosil. Terutama gas yang tersedia melimpah dan murah.

Sedangkan permintaan gas Eropa tahun ini diperkirakan masih tumbuh 3%. Namun dalam jangka pendek, European Investment Bank, akan mengakhiri semua pembiayaan untuk bahan bakar fosil pada Desember mendatang.

“Sederhananya, gas sudah habis. Tanpa penghentian penggunaan bahan bakar fosil yang berkelanjutan, kami tidak akan dapat mencapai target iklim,” kata Presiden European Investment Bank Werner Hoyer.