Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengoreksi target pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Hal ini seiring dengan adanya penurunan permintaan listrik imbas pandemi Covid-19.
Direktur Panas Bumi Ditjen EBTKE Kementerian ESDM Harris mengatakan kapasitas pemanfaatan panas bumi di Indonesia hingga 2025 akan ditetapkan lebih rendah dibandingkan target sebelumnya. Pasalnya, pandemi Covid-19 menyebabkan permintaan listrik anjlok cukup signifikan.
"Sehingga saat ini hanya sekitar 1.116 megawatt (MW) sampai 2025. Sebelumnya lebih tinggi dari itu," ujar dia dalam diskusi secara virtual, Jumat (21/4).
Selain itu, pengembangan panas bumi yang semula ditargetkan dapat mencapai 9.300 MW pada 2030 juga akan mengalami kemunduran. Peta jalan terbaru pengembangan panas bumi yang disusun pemerintah menyebutkan pencapaian target tersebut mundur ke 2035. "Itu merespon perbedaan adanya kondisi demand, kita koreksi," ujarnya.
Menurut Harris ada tantangan dan risiko yang cukup besar dalam pengembangan panas bumi. Misalnya seperti lokasi Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang saat ini banyak ditemui di hutan konservasi.
Meski demikian, hal itu bukan berarti membuat pengembangan panas bumi menjadi jalan di tempat. Pasalnya, masih ada beberapa jenis hutan yang dapat dilakukan kegiatan pengembangan panas bumi dengan izin Kementerian KLHK.
Di samping itu, pengembang panas bumi juga dihadapkan dengan tantangan untuk kegiatan pengeboran sumur eksplorasi yang penuh risiko. Untuk itu, guna mengurangi risiko tersebut pemerintah memiliki program government drilling untuk mengurangi risiko eksplorasi panas bumi.
Pengeboran eksplorasi sendiri bertujuan untuk memberikan data yang lengkap kepada investor. Kemudian tantangan berikutnya seperti isu sosial. Apalagi panas bumi juga melakukan pengeboran seperti layaknya sektor migas.
"Sehingga banyak tempat yang mencoba protes terkait dengan keberadaan proyek namun hal ini bisa diselesaikan melalui pendekatan, sosialisasi yang baik," ujarnya.
Kemudian, kelayakan proyek panas bumi untuk tarif listrik yang masih kurang ekonomis. Oleh karena itu, pemerintah saat ini tengah berupaya merampungkan Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur harga listrik energi baru terbarukan (EBT).
Menurut Harris draf rancangan tersebut saat ini sudah diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. Adapun rancangan Perpres EBT saat ini masih dalam proses pemberian paraf dari beberapa menteri terkait di bawah koordinasi Kementerian Sekretariat Negara.
"Saat ini rancangan perpres itu sudah ada di Presiden dan sekarang ini berproses untuk mendapatkan persetujuan dari Kementerian lembaga terkait," ujarnya.