METI: Target Penambahan Kapasitas PLTS dalam Draf RUPTL Masih Rendah

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Panel surya juga menjadi sumber energi listrik alternatif di Pulau Laut, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.
22/6/2021, 19.02 WIB

Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) menilai penambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS masih rendah. Ini mengacu pada draf Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 tergolong kecil.

Adapun penambahan kapasitas PLTS hingga 2030 yang ditargetkan draf RUPTL kali ini akan mencapai 5.969 Megawatt (MW). Dengan rincian, sebanyak 1.408 MW sudah selesai pembahasan, sementara 4.561 MW masih didiskusikan.

Ketua Umum METI Surya Darma mengatakan target ini lebih kecil dibandingkan target dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). "Tapi kami bisa pahami penurunan tambahan kapasitas ini karena pertumbuhan ekonomi yang menurun akibat Covid 19," kata Surya kepada Katadata.co.id, Selasa (22/6).

Meski begitu, dia menyayangkan kondisi kelistrikan dalam negeri masih berorientasi dengan sumber energi kotor batu bara. Sektor ini masih memegang peran yang besar, bahkan saat ini telah mencapai 63% dalam bauran kelistrikan nasional.

Oleh karena itu, penambahan kapasitas PLTS dalam draf RUPTL 2021-2030 tidak terlalu berarti dibandingkan target yang sudah ada. Hanya saja, penambahan ini bisa jadi akan meningkatkan peran energi baru dan terbarukan (EBT).

Memang masih ada program lain dalam rangka menurunkan porsi batu bara melalui program co-firing. Bagi energi terbarukan, peningkatan tersebut membawa angin segar mengingat secara keseluruhan porsi energi terbarukan akan bertambah.

"Kita kan sedang berusaha untuk menuju net zero emission tahun 2050. METI mengusulkan sebuah inisiatif yang diberi nama Renewable Energy 50/50 Initiative," ujarnya.

Artinya, untuk bebas dari emisi karbon, Indonesia harus mampu meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan sebesar 50% pada 2050. Target ini lebih besar dari yang ditetapkan dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang hanya 31% pada 2050.

Menurut Surya, jika ingin target bauran energi terbarukan diwujudkan, maka berbagai kendala yang selama ini dialami dalam pengembangan energi terbarukan, harus dihilangkan. Beberapa regulasi yang belum mendukung energi terbarukan harus diperbarui.

Dia menyebutkan penggantian Permen ESDM No.50/2017 dengan Perpres harga energi terbarukan yang sudah lama ditunggu para investor. Kemudian, payung hukum pemanfaatan energi terbarukan harus diperkuat dengan undang-undang.

Undang-undang yang sedang dibahas DPR tentang EBT itu harus direalisasikan, namun tetap fokus untuk energi terbarukan. Jangan sampai dicampur aduk dengan sumber energi baru lainnya seperti nuklir.

"Yang ingin kita tuntaskan, energi terbarukan sesuai dengan tren eranya. Era energi terbarukan, fokus juga UU-nya Energi terbarukan," katanya.

Adapun dalam draf RUPTL 2021-2030, porsi pembangkit EBT direncanakan sebesar 48%, sedangkan pembangkit fosil sebesar 52%. Angka tersebut lebih besar jika dibandingkan porsi pada RUPTL 2019-2028 yang hanya 30% untuk pembangkit EBT dan 70% untuk pembangkit fosil.

"Jika dibandingkan, kami bisa klaim RUPTL sekarang dari sisi komposisi pembangunan pembangkit fosil dan non-fosil yang lama itu 30% EBT dan 70% fosil," ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana.

PLN juga telah diminta untuk berhenti membangun PLTU mulai 2025, jika ingin menjadi perusahaan yang netral karbon pada 2050. Karena untuk mencapai target tersebut, puncak emisi karbon harus terjadi pada 2030. Setelahnya harus turun sampai hilang.

Sementara PLN menyatakan baru akan fokus pada pembangkit energi terbarukan setelah merampungkan mega proyek pembangkit listrik 35.000 MW. Padahal 20.000 MW dari proyek tersebut berasal dari PLTU.