Kajian IESR: Sektor Ketenagalistrikan Capai Emisi Nol Karbon pada 2045
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai target pemerintah dalam mencapai nol emisi karbon masih kurang. Padahal secara teknis dan ekonomis Indonesia sebenarnya mampu mencapai nol emisi di sektor ketenagalistrikan pada 2045.
Laporan IESR berjudul “Deep decarbonization of Indonesia’s energy system: A pathway to zero emissions by 2050” menunjukkan capaian tersebut jauh lebih cepat dibandingkan sektor transportasi dan industri yang mencapai kondisi yang sama pada 2050.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan dibandingkan sektor transportasi dan industri, sektor ketenagalistrikan merupakan low hanging fruit dalam upaya dekarbonisasi sistem energi Indonesia. "Untuk itu, satu dekade ini sangat menentukan," ujarnya dalam diskusi secara virtual, Kamis (15/7).
Setidaknya ada empat hal yang perlu terjadi dalam satu dekade mendatang. Pertama, yakni akselerasi energi terbarukan, dan kedua penghentian pembangunan PLTU batu bara baru sebelum 2025. Ketiga, percepatan penghentian PLTU terutama berjenis subcritical, dan keempat modernisasi grid.
Elektrifikasi sektor transportasi dan industri juga dimulai bersamaan dengan proses dekarbonisasi yang mendalam di sektor ketenagalistrikan. Akibatnya, penurunan emisi GRK di sektor ketenagalistrikan akan berkontribusi pada pengurangan emisi secara signifikan di sektor transportasi dan industri.
IESR membuat skenario yang menunjukkan bahwa permintaan listrik dari sektor transportasi dan industri terus meningkat menuju 2050. Sekitar 50% listrik diproduksi oleh energi terbarukan di tahun 2030 dari 140 GW pembangkit listrik energi terbarukan, sebelum akhirnya mencapai 100% energi terbarukan di tahun 2045.
Pada skenario tersebut, biaya pembangkitan listrik diratakan (levelized cost of electricity/LCOE) dapat turun dari US$ 79,52 per MWh di tahun 2020 menjadi US$ 40,59 per MWh di tahun 2050. Sehingga biaya pembangkitan listrik dari energi terbarukan di Indonesia menjadi semakin kompetitif.
Dengan mengandalkan energi surya, pemodelan IESR memperlihatkan terjaminnya pasokan listrik meskipun variabilitas pembangkitan listrik PLTS cukup tinggi. Untuk menyeimbangkan kebutuhan beban dan pembangkitan PLTS, maka dapat dilakukan dengan pengisian baterai dan pemanfaatan pumped hydro energy storage.
Kemudian, pemanfaatan listrik untuk memproduksi bahan bakar bersih, pemanfaatan listrik untuk transportasi, pemanfaatan listrik untuk memproduksi energi panas, dan melakukan ekspor-impor listrik antar regional.
Pembangkit listrik tenaga air juga dapat dioperasikan secara fleksibel selama periode ini untuk membantu keseimbangan sistem. Sementara panas bumi beroperasi sebagai baseload.
Adapun guna mengintegrasikan sektor transportasi maupun sektor industri melalui elektrifikasi, diperlukan perluasan jaringan listrik masif yang mencakup seluruh daerah di Indonesia. Skenario BPS memperlihatkan bahwa hampir 760 TWh listrik didistribusikan di seluruh negeri pada tahun 2050, dengan Pulau Jawa sebagai konsumen energi utama di Indonesia dengan mengkonsumsi 80% dari total energi di negara ini.
Untuk memenuhi kebutuhan energinya, Pulau Jawa akan mengimpor listrik 4,6% pada tahun 2030, 45,5% pada tahun 2040 dan 82,1% pada tahun 2050 dari Pulau Sumatera dan Nusa Tenggara. Untuk itu, IESR merekomendasikan kepada pemerintah untuk meningkatkan kapasitas jaringan listrik Indonesia guna mendukung sistem interkoneksi jaringan listrik antar pulau dan mengoptimalkan sumber daya energi terbarukan yang tersebar di berbagai pulau.
Laporan ini mengatakan interkoneksi Jawa-Sumatera menjadi penting untuk memasok listrik ke Jawa hingga 50% di tahun 2050. Selain itu interkoneksi antara Jawa Timur dan Bali perlu diperluas ke Nusa Tenggara untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau-pulau kecil lainnya. Hasil model IESR bahkan menunjukkan pada tahun 2050, kapasitas transmisi sebesar 158 GW perlu dibangun untuk menghubungkan Indonesia dari barat ke timur.
Perencanaan pembangunan jaringan transmisi dan interkoneksi antar pulau yang dapat mendukung Indonesia untuk mencapai target nol emisi di tahun 2050 sangat krusial untuk dilakukan secepatnya. Hal ini dikarenakan pembangunan proyek jaringan transmisi biasanya membutuhkan waktu lama.
Oleh sebab itu dibutuhkan komitmen yang tegas dari pemerintah, pengambil kebijakan, regulator, dan PT PLN sebagai operator utama jalur transmisi dan distribusi. Namun pada Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR pada Mei lalu, PLN menyampaikan tengah menyusun rencana strategis bersama Kementerian ESDM untuk mencapai netral karbon di 2060.
Hal tersebut pun tidak sejalan dengan target Persetujuan Paris untuk net zero emissions di tahun 2050. “Rencana PLN ini masih kurang ambisius untuk mencapai target Persetujuan Paris. Kajian IESR menunjukan sektor listrik bisa capai zero emissions pada 2045 dengan memanfaatkan energi terbarukan," kata Fabby.