Revisi Peraturan Menteri soal PLTS Atap Tinggal Menanti Restu Jokowi

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/hp.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Senin (24/5/2021).
2/9/2021, 15.38 WIB

Kementerian ESDM menyebut revisi peraturan mengenai pemanfaatan PLTS atap tinggal menunggu restu Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Terutama setelah proses harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) selesai.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana, mengatakan bahwa setelah mendapat restu Presiden Jokowi, maka beleid yang salah satunya mengatur mengenai ketentuan ekspor impor PLTS ini akan segera terbit.

"Masih proses persetujuan Presiden, setelah itu langsung terbit," ujar Dadan kepada Katadata.co.id, Kamis (2/9).

Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan (EBT) yang cukup besar, yakni lebih dari 400 ribu megawatt (MW). Dari potensi tersebut, 50% di antaranya atau sekitar 200 ribu MW bersumber dari energi surya.

Sementara pemanfaatan energi surya sendiri saat ini baru sekitar 150 MW atau hanya 0,08% dari potensinya. Padahal, Indonesia adalah Negara khatulistiwa yang seharusnya bisa menjadi panglima dalam pengembangan energi surya. Simak potensi EBT Indonesia pada databoks berikut:

Saat ini dunia bergerak cepat dalam mengurangi energi fosil dan beralih ke energi bersih yang ramah lingkungan. Hal ini lantaran tuntutan green product yang dihasilkan oleh green industry terus meningkat. Bahkan menjadi keharusan jika produsen tidak ingin produknya dikenakan carbon border tax.

"Transformasi energi menuju energi baru dan terbarukan harus dimulai. Green economy, green technology, dan green product harus diperkuat agar kita bisa bersaing di pasar global," katanya.

Dadan menuturkan, saat ini pembiayaan untuk bisnis energi fosil semakin diperketat, sementara industri energi terbarukan makin pesat dan harganya makin murah dari waktu ke waktu, terutama PLTS.

Berdasarkan data IRENA 2021, Indonesia tertinggal dibandingkan negara ASEAN lainnya dalam hal pemanfaatan PLTS. Kapasitas PLTS di Vietnam, misalnya, telah mencapai 16.504 MW, meningkat drastis dalam 3 tahun, dan Malaysia sebesar 1.493 MW. Juga India, yang juga terletak di khatulistiwa, kapasitasnya mencapai 38.983 MW.

Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian ESDM menargetkan terpasangnya PLTS atap sebesar 3.600 MW secara bertahap hingga 2025. Revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 tahun 2018 tentang penggunaan PLTS atap diharapkan bisa menggairahkan minat masyarakat untuk memasang pembangkit ini di atap rumahnya.

Adapun beberapa stimulus bagi rakyat yang ingin memasang PLTS atap antara lain: ketentuan ekspor listrik dari masyarakat ke PLN ditingkatkan dari 65% menjadi 100%, jangka waktu kelebihan listrik masyarakat di PLN diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan, waktu permohonan PLTS atap dipersingkat menjadi 5-12 hari.

"Pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di wilayah usaha non-PLN," katanya.

Selain itu, mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS atap. Kemudian dibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap, serta tersedianya pusat pengaduan PLTS atap bagi masyarakat.

Direktur Eksekutif METI Paul Butarbutar menilai ada beberapa poin penting yang direvisi dalam aturan PLTS atap. Salah satunya yakni terkait nilai ekspor ke grid. "Ini akan mempercepat pengembalian dari investasi PLTS atap. Harapannya dengan begitu kelas menengah bisa semakin banyak yang pasang PLTS atap," ujarnya.

Di samping itu, dengan adanya perbaikan regulasi ini, diharapkan perbankan juga akan semakin tertarik untuk membiayai pemasangan PLTS atap dengan cicilan yang lebih murah bagi pemasang.

Reporter: Verda Nano Setiawan