Sri Mulyani Gandeng ADB Demi Setop Penggunaan PLTU Batu Bara

PLN
Pemerintah mencari cara agar batu bara tetap memiliki pembeli di masa depan ketika PLTU sudah tidak lagi dipakai.
Penulis: Abdul Azis Said
Editor: Agustiyanti
19/10/2021, 13.22 WIB

Pemerintah tengah memulai proses transisi menuju konsumsi energi bersih atau ramah lingkungan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan menggandeng Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk membantu mengakhiri penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

“Indonesia sebenarnya kini mulai berdiskusi dan juga berinisiatif dengan ADB tentang apa yang kami sebut sebagai mekanisme transisi energi. Ini adalah bagaimana kita akan menghentikan energi batu bara," kata Sri Mulyani dalam keterangan resminya, Selasa (19/10).

Sri Mulyani menyebut diskusi dengan ADB bukan hanya terkait upaya untuk mengakhir penggunaan batu bara, melainkan mencari cara agar komoditas ini tetap memiliki pembeli di masa depan ketika PLTU batu bara sudah tidak lagi dipakai. PLTU saat ini adalah konsumen utama batu bara. 

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga menyebut pemerintah saat ini terus melakukan diskusi dengan banyak produsen batu bara dan produsen energi batu bara membahas rencana tersebut. Hal ini termasuk memperkenalkan rencana pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru disahkan.

"Kami seharusnya tidak hanya merancang transisi ini secara teknis dan teknokratis, tetapi juga harus sangat memperhatikan ekonomi politik,” ujarnya.

Pemerintah berencana memulai implementasi pajak karbon mulai 1 April 2022 dengan penerapan pertama pada sektor PLTU batu bara. Implementasinya akan menggunakan skema cap and tax,  di mana tarif minimum berlaku Rp 30 per Kg CO2 ekuivalen. Pajak karbon ini diharap bisa menjangkau sektor lainnya secara bertahap pada 2025.

Selain memperkenalkan ketentuan pajak karbon, Sri Mulyani menyebut dukungan terhadap transisi energi juga akan dilakukan dari aspek pendanaan. Pendanaan baru diperlukan untuk mendukung ketersediaan energi yang cukup sebagai kompensasi akibat penghentian pemakaian batu bara.

"Ini sekaligus sebagai kompensasi untuk memenuhi kebutuhan energi yang akan terus tumbuh seiring dengan pemulihan," kata Sri Mulyani.

ADB belum lama ini juga mengumumkan penambahan alokasi dukungan pembiayaan untuk mengatasi perubahan iklim bagi negara-negara anggotanya di Asia-Pasifik, termasuk Indonesia. Anggaran tersebut ditambah dari semula US$ 80 miliar, kini menjadi US$ 100 miliar atau setara Rp 1.422 triliun hingga tahun 2030.

Presiden ADB Masatsugu Asakawa menyebut urgensi dukungan pembiayaan karena Asia dan Pasifik menjadi kawasan yang akan paling terdampak oleh krisis iklim. Asakawa pada Mei lalu mengungkapkan bahwa sekitar 60% penduduk di kawasan ini bekerja di sektor yang rentan terhadap perubahan pola cuaca.

Asakawa menjelaskan, sebagian besar anggaran yang disediakannya akan mengalir kepada program-program yang berroeintasi pada mitigasi iklim. Ini termasuk penyimpanan energi, efisiensi energi dan transportasi rendah karbon. Nilai pembiayaan yang disediakan mencapai US$ 66 miliar.

Reporter: Abdul Azis Said