Hampir seperempat abad warga Dusun Jentu, Desa Sentabai, Kapuas Hulu, Kalimantan berkutat dalam remang saat malam. Sinar listrik yang mengalir dari satu genset yang bekerja meraung-raung tak cukup menerangi 42 rumah tangga di sana.
Itu kisah tiga tahun lalu.
Sejak daerah ini didiami pada 1994, warga Dusun Jentu memang belum pernah merasakan seterum dari Perusahaan Listrik Negara. Sinar matahari yang berlimpah di garis khatulistiwa serta teknologi panel surya akhirnya membantu mereka untuk berdikari dalam pemenuhan daya listrik.
Kini hampir seluruh rumah di dusun tersebut memasang panel surya di genteng rumah melalui upaya mandiri. Mereka memperoleh ilmu dan mereplikasinya meski dihadapkan dengan sulitnya akses transportasi dan jarak yang jauh. Dusun Jentu sekitar 280 kilometer dari ibukota Kabupaten Kapuas Hulu, Putussibau.
Kepala Dusun Jentu, Yohanes Awing, bercerita bahwa warga menggunakan panel surya sejak 2019. Awalnya mereka bergantung pada satu genset berbahan bakar fosil yang dibeli dari dana desa. Namun daya yang dihasilkan genset ini tidak cukup memenuhi kebutuhan warga. Bahkan beberapa masih menggunakan minyak lampu untuk penerangan saat malam.
Perubahan mulai terjadi pada pertengahan 2018, ketika genset satu-satunya yang dimiliki warga itu rusak. Awing bersama dengan perangkat dusun lainnya memutar otak mencari cara memenuhi listrik Dusun Jentu. Terbersit ide kala itu untuk menggunakan panel surya seperti yang diterapkan dusun tetangga mereka, Tengkalong dan Sungai Putat.
Tidak seperti Dusun Jentu, Dusun Tengkalong dan Sungai Putat telah menggunakan dana desa untuk membeli panel surya, alih-alih genset. Warga Dusun Jentu pun mencoba mereplikasi metode serupa dan berhasil menerapkannya pada 2019.
“Ada 42 kepala keluarga. Hampir semua rumah sudah pakai panel surya,” kata Awing pada Katadata.co.id saat peresmian program Sanitasi, Air Bersih, Aman, dan Sehat Sinar Mas Agribusiness and Food pada Sabtu (13/8) kemarin.
Biaya untuk memasang satu unit panel surya bergantung pada kebutuhan listrik di satu rumah. Untuk membeli aki dan panel surya, warga Jentu harus merogoh kocek Rp 4 hingga 5 juta. Jumlah ini tergolong besar bagi masyarakat di sana yang sehari-hari menggantungkan pendapatan dari bercocok tanam sayuran dan bekerja harian di kebun kelapa sawit.
Awing memperbolehkan warganya untuk menyicil pembayaran panel surya per bulan. Setelah menggunakan energi terbarukan ini, genset yang dulu diandalkan warga untuk menerangi dusun tidak lagi terpakai meski sudah diperbaiki. Hermanto, warga di sana, mengatakan bahwa penggunaan panel surya lebih hemat daripada genset.
Pada awalnya warga memang harus mengeluarkan biaya cukup besar. Namun, dalam jangka panjang, pengeluaran untuk listrik akan lebih kecil. Mereka tidak perlu membeli bahan bakar minyak (BBM) untuk genset, cukup mengeluarkan sedikit uang untuk pemeliharaan panel surya.
“Keadaan pun bersahabat. Tidak lagi berisik dan tidak ada polusi udara. Genset kan ribut dan asapnya banyak,” ujar Hermanto.
Perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Barat, Sinar Mas Agribusiness and Food, juga menggunakan panel surya seperti warga Dusun Jentu. Masalah yang dihadapi sama, yakni sulitnya akses listrik dari PLN. Listrik dari panel surya ini mereka gunakan di gedung Pusat Pelatihan dan Pengembangan Masyarakat (P3M) Sinarmas Agribusiness and Food sejak 2019.
Program corporate social responsibility P3M bertujuan melatih warga mengolah hasil alam di sekitarnya. Beberapa di antaranya yakni pelatihan pertanian ekologis, pembuatan kompos padat dan cair, dan produksi suplemen daun kelor.
Panel surya paling banyak digunakan di sentra pengolahan daun kelor. Sebab, warga membutuhkan suplai listrik yang besar untuk mengeringkan dan menghaluskan daun kelor. Melalui panel surya ini, Dusun Jentu pun kini makin tersinari.