Aturan DMO Batu Bara dan Tarif Listrik Dinilai Hambat Transisi Energi

KESDM
Foto udara area Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Jumat (25/3/2022).
Penulis: Happy Fajrian
7/9/2023, 13.43 WIB

Pemerintah terus menggenjot proyek-proyek energi terbarukan seiring dengan upaya transisi energi demi mencapai target net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Namun dua kebijakan pemerintah dinilai menghambat upaya ini.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa dua kebijakan yang menghambat transisi energi yaitu kebijakan domestic market obligations (DMO) batu bara yang menetapkan harga maksimal batu bara US$ 70 per ton untuk pembangkitan listrik.

Kedua yaitu kebijakan tarif listrik Indonesia yang menurutnya tidak memberikan ruang kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) atau perusahaan listrik swasta untuk meningkatkan kapasitas energi baru terbarukan (EBT).

“Harga batu bara untuk kelistrikan dibatasi US$ 70 per ton, ini menjadi insentif untuk terus menjalankan PLTU. Renewable semakin murah, tapi kebijakan seperti ini membuat listrik batu bara menjadi lebuh murah lagi,” kata Fabby dalam Bloomberg CEO Forum, dikutip Kamis (7/9).

Menurut Fabby, kebijakan seperti ini harus disingkirkan meski ia mengakui bahwa hal itu tidak akan mudah karena membutuhkan persetujuan dari parlemen. “Ini butuh usaha besar dan juga harus bekerja sama dengan parlemen. Ini bukan hanya keputusan eksekutif,” ujarnya.

Selain itu Indonesia juga telah memasuki tahun politik dengan pemilu yang akan berlangsung pada 2024. Sehingga, jika pemerintah ingin merevisi kebijakan ini maka tidak akan bisa dilakukan tahun ini atau tahun depan.

Kebijakan kedua yakni terkait dengan tarif listrik di mana Indonesia menjadi salah satu negara dengan tarif listrik terendah di Asia Tenggara. Menurut Fabby ini juga kebijakan yang sangat sensitif di Indonesia.

Tarif listrik yang murah membuat listrik dari pembangkit energi terbarukan seperti panas bumi, large hydro atau pembangkit listrik tenaga air (PLTA), sulit bersaing karena harga pembangkitannya yang relatif lebih mahal.

“Jadi kita harus meng-address isu tarif listrik ini sehingga PLN dan IPP bisa memiliki ruang untuk berinvestasi pada proyek-proyek energi terbarukan. Ini membutuhkan investasi yang sangat besar, saat ini PLN tidak memilikinya,” kata Fabby.

Padahal, dia menilai perusahaan utilitas seperti PLN dan perusahaan pembangkit listrik swasta (IPP) sebagai jangkar dalam investasi energi terbarukan. Kontribusinya diperkirakan mencapai 60% dari total investasi yang diperkirakan mencapai US$ 20 miliar per tahun.

“Dengan kondisi finansial PLN saat ini, mereka sangat jauh dari angka tersebut. Jadi, reformasi kebijakan tarif listrik untuk memberikan perusahaan utilitas imbal hasil yang moderat, saya pikir bisa mendorong investasi energi bersih di Indonesia,” ujarnya.

Sebagai informasi, data Kementerian ESDM menunjukkan kapasitas terpasang pembangkit energi baru terbarukan (EBT) hingga paruh pertama 2023 mencapai 12,7 gigawatt (GW) atau sekitar 15% dari total pembangkit saat ini.

Adapun PLTA masih mendominasi porsi EBT yang mencapai 6,7 GW. Kemudian diikuti oleh pembangkit biomassa 3,8 GW, pembangkit panas bumi 2,3 GW, PLTS 322 MW, pembangkit tenaga angin 154 MW, dan pembangkit gasifikasi batu bara 30 MW.

Selain untuk pembangkit, penggunaan EBT juga dioptimalkan melalui biodiesel campuran 35% (B35). Sejak awal tahun ini, Kementerian ESDM menyebut pemanfaatannya sudah mencapai 5,67 juta kiloliter. Selain itu, biomassa juga dipakai untuk program co-firing PLTU yang ditargetkan beroperasi di 52 lokasi pada 2025.