PricewaterhouseCoopers (PwC) memproyeksikan pasar kendaraan listrik (electric vehicle) di Indonesia akan terus tumbuh seiring kesadaran konsumen terhadap kendaraan ramah lingkungan dan insentif dari pemerintah. Namun, adopsi kendaraan listrik di Indonesia lebih lambat dibandingkan global.
Hal ini terungkap dari laporan PwC berjudul Indonesia Electric Vehicle (EV) Consumer Survey 2023. Laporan ini merupakan hasil dari survei yang dilaksanakan PwC pada Juni-September 2023 kepada konsumen Indonesia di delapan kota besar dan lintas generasi.
“Kami mulai melihat peningkatan permintaan, terdapat pergeseran untuk mengakomodasi permintaan baru terutama untuk menanggapi isu keberlanjutan dan kemajuan teknologi,” ujar PwC Indonesia Automotive Leader Hendra Lie dalam keterangan resmi, Senin (16/10).
Meski demikian, adopsi EV di Indonesia lebih lambat dibandingkan di pasar global. Oleh karena itu, para pemimpin industri dan pembuat kebijakan sedang mempersiapkan masa depan di mana kendaraan ramah lingkungan dapat memainkan peran utama di pasar.
Hasil survei tersebut menyatakan bahwa pasar EV di Indonesia sedang bertumbuh, namun relatif lebih lambat dibandingkan dengan negara lain. Hal itu disinyalir karena adanya keraguan konsumen terutama terkait ketersediaan infrastruktur. Responden merasa khawatir terhadap ketersediaan stasiun pengisian untuk kendaraan listrik, baik untuk mobil (63%) maupun sepeda motor (52%).
Kekhawatiran responden lainnya adalah ketersediaan stasiun pengisian daya kendaraan listrik di daerah terpencil, di mana untuk mobil mencapai 54% responden sedangkan sepeda motor 47%. Hal ini menunjukkan perlunya infrastruktur pengisian daya yang merata untuk memenuhi kekhawatiran konsumen.
Hendra mengatakan, walaupun daya tarik EV semakin besar, kekhawatiran konsumen dapat memengaruhi tingkat adopsi EV secara signifikan. Hal ini termasuk biaya pemeliharaan yang mungkin menjadi mahal dalam jangka panjang.
Hasil survei tersebut juga menunjukkan sebanyak 87% responden paling khawatir terhadap biaya penggantian baterai, lalu sebesar 83% mengkhawatirkan harga suku cadang. Sebanyak 66% responden khawatir terhadap pengeluaran tak terduga dan 59% mengkhawatirkan biaya perawatan rutin.
“Pemahaman yang lebih mendalam mengenai kekhawatiran ini sangat penting bagi produsen, pembuat kebijakan, dan pemangku kepentingan lainnya, agar dapat memenuhi tuntutan dan kebutuhan konsumen di Indonesia secara efektif,” kata Hendra.
Selain itu, dalam survei tersebut juga dinyatakan bahwa pengisian daya adalah salah satu pertanyaan paling penting saat konsumen mempertimbangkan membeli EV untuk pertama kalinya. Hasilnya, sebanyak 75% responden lebih memilih untuk mengisi ulang kendaraan mereka di stasiun pengisian terdekat. Adapun 69% responden lebih memilih untuk mengisi ulang kendaraan mereka di rumah. Namun, hal ini menimbulkan pertimbangan baru mengenai kenaikan tagihan listrik.
Teknologi yang Adaptif
Sebagian besar responden berpendapat bahwa EV adalah kendaraan masa depan. Sebanyak 85% responden menyebut EV memiliki mesin yang lebih senyap sedangkan 76% responden menyebut EV menggunakan teknologi inovatif. Sebanyak 82% responden menyebut EV memiliki aspek menarik yang belum pernah ada sebelumnya. Ketiga hal itu adalah fitur utama EV yang tidak dapat ditiru di kendaraan berbahan bakar fosil.
Hendra menyebutkan, saat ini baterai solid-state sedang dikembangkan untuk memberi konsumen jangkauan berkendara yang lebih lama, waktu pengisian ulang yang lebih cepat, dan peningkatan keselamatan. Selain itu, inovasi dalam pengisian daya nirkabel akan meningkatkan fleksibilitas dan berkendara otonom.
“Kemajuan mutakhir ini, terutama dalam teknologi baterai dan efisiensi secara keseluruhan, dapat mengurangi biaya perawatan dan memperpanjang umur kendaraan,” kata dia.
Tak hanya itu, Hendra menuturkan, insentif pemerintah sangat penting dalam menentukan arah adopsi EV. Untuk mendorong pasar EV, dibutuhkan upaya dari para pemangku kepentingan. Pemerintah dan swasta harus menciptakan kemitraan untuk memperluas infrastruktur pengisian daya secara nasional dan memulai stasiun pengisian cepat di sepanjang jalan raya.
Menurutnya, produsen juga harus fokus pada peningkatan teknologi baterai untuk mengurangi waktu pengisian daya. Inovasi seperti supercharger telah mencapai kemajuan signifikan ke arah ini. “Transisi ke EV tidak bisa dihindari, namun kecepatan transisi ini bergantung pada penanganan kekhawatiran konsumen," ujar Hendra.