Kunjungan Jokowi ke Tiongkok Kunci Untuk Akselerasi Transisi Energi

ANTARA FOTO/Desca Lidya Natalia/tom.
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Presiden China Xi Jinping saat upacara penyambutan kenegaraan di Great Hall of the People, Beijing, China, Selasa (17/10/2023). Dalam upacara tersebut Presiden Jokowi dan Presiden Xi Jinping melakukan inspeksi pasukan dan memperkenalkan delegasi dari negara masing-masing.
Penulis: Nadya Zahira
19/10/2023, 11.26 WIB

Presiden Joko Widodo (Jokowi) diharapkan dapat memanfaatkan Forum Belt and Road for International Cooperation (BRI) 2023 yang digelar di Beijing, Cina pada 17-18 Oktober lalu untuk mewujudkan kerja sama investasi yang berorientasi pada kepentingan nasional, terutama dalam melakukan transisi energi yang bersih. 

Forum BRI ketiga yang dihadiri langsung oleh Presiden Cina Xi Jinping ini menekankan pada tiga isu penting yaitu konektivitas, green development (pembangunan hijau), dan ekonomi digital. Indonesia pada paruh pertama tahun ini merupakan negara penerima investasi BRI terbesar yaitu sekitar US$5,6 miliar, diikuti oleh Peru US$2,9 miliar, dan Arab Saudi sekitar US$1,6 miliar. Dengan begitu, keterlibatan Indonesia menjadi tonggak penting dalam upaya mengakselerasi investasi energi bersih yang saat ini masih membutuhkan dukungan pendanaan besar. 

Menurut data World Resources Institute (WRI) pada China Overseas Finance Investory Database, dalam satu dekade sejak BRI diluncurkan, perusahaan-perusahaan dan lembaga-lembaga keuangan Tiongkok telah menginvestasikan total US$83 miliar. Dana tersebut untuk membangun 268 proyek energi di 67 negara dengan total kapasitas terpasang sebesar 111 GW. 

Selain itu, sekitar 178 dari proyek-proyek tersebut, merupakan proyek-proyek bahan bakar non-fosil dengan kapasitas 34 GW. Green Finance and Development Center menyebut semester pertama 2023 merupakan periode terhijau dalam periode enam bulan sejak BRI didirikan pada tahun 2013.

Dalam enam bulan pertama tahun ini, sekitar 41% keterlibatan investasi Cina di sektor energi adalah untuk energi surya dan angin, sedangkan sekitar 14% merupakan tenaga air.

Direktur Keuangan WRI Tiongkok Shuang Liu berharap dapat melihat peningkatan energi terbarukan yang berkelanjutan dalam hal kapasitas total dan aliran keuangan, di bawah kerja sama terpadu Cina dengan negara-negara tuan rumah dan komunitas internasional. Shuang menyebut salah satu perbaikan yang perlu dilakukan adalah penggunaan dana publik yang lebih besar untuk mendorong mobilisasi investasi swasta, termasuk badan usaha milik negara (BUMN), guna mendukung energi terbarukan. 

“Hal ini termasuk membiayai upaya persiapan proyek tahap awal, dan berbagi risiko dengan investor swasta.” ujar Shuang Liu, melalui keterangan resmi, dikutip Kamis (19/10).

Bagi ASEAN dan Indonesia, kerja sama ini penting untuk merealisasikan komitmen bersama dalam mitigasi krisis iklim dengan mempercepat pembangunan hijau di kawasan tersebut.

Sementara itu, Associate Director of Clean Energi, Asia Society Policy Institute, Muyi Yang, secara khusus mengatakan, sejauh ini Tiongkok telah mempromosikan dan berinvestasi di sejumlah proyek energi bersih di negara-negara ASEAN. Investasi ini termasuk untuk pembangkit listrik tenaga angin, tenaga surya, tenaga air, dan pengembangan kendaraan listrik.

“Cina bekerja sama dengan pemerintah Thailand dan Indonesia untuk meningkatkan kendaraan listrik dan kapasitas produksi baterai,” kata Muyi.

Laporan “Getting Asia to Net Zero" dari Asia Society Policy Institute menunjukkan bahwa dengan mempromosikan emisi nol, negara-negara ASEAN dapat mendorong investasi yang signifikan, pembangunan ekonomi, dan penciptaan lapangan kerja. Skenario NZE ini akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi setidaknya 4% lebih tinggi pada tahun 2030, jika dibandingkan dengan skenario dasar.

Negara ASEAN Perlu Lakukan Reformasi Ketenagalistrikan

Namun, dia menegaskan negara-negara ASEAN juga perlu mereformasi ketenagalistrikan untuk menciptakan lingkungan bisnis yang mendukung pengembangan industri energi ramah lingkungan, dan meningkatkan industrinya guna mewujudkan tujuan transformasi. 

“Hal ini krusial mengingat banyak negara yang menerima investasi BRI saat ini adalah negara-negara berkembang yang membutuhkan pasokan energi sekaligus menderita dampak iklim yang parah,” kata Muyi.

Untuk itu, Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS, mendorong agar pemerintah Indonesia bisa lebih tegas memastikan bahwa proyek yang sudah dan akan berjalan harus ke arah yang lebih rendah emisi karbon. Di masa depan, pemerintah juga harus lebih selektif memilih pendanaan yang mendukung solusi transisi energi berkeadilan. 

Kekhawatiran ini berdasarkan temuan bahwa Tiongkok masih mendanai pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia, salah satunya pembangkit listrik tenaga uap 4x380 Megawatt di Pulau Obi. Hal ini membuat komitmen baik dari sisi Tiongkok maupun Indonesia dalam mewujudkan pembangunan hijau masih perlu dipertanyakan.

“Untuk itu, berbagai tindak lanjut diharapkan dapat diumumkan segera setelah berakhirnya Forum BRI. Terutama bagi Indonesia, kebijakan transisi energi yang saat ini menjadi komitmen nasional sehingga idealnya dapat dipercepat melalui kolaborasi internasional dan penerapan standar lingkungan yang lebih kuat,” ujar Bhima.

Reporter: Nadya Zahira