52 Proyek PLTS Jadi Prioritas Dana JETP, Investasi Rp 36 Triliun

ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/Spt.
Petugas membersihkan panel surya di SPBU 41.512.03 kawasan Rest Area KM 379A Tol Batang-Semarang di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Jumat (3/11/2023). SPBU yang dikelola PT. Pertamina (Persero) itu menerapkan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebanyak 11 panel surya untuk melistriki operasional stasiun pengisian bahan bakar dan sejumlah kantor yang sejalan dengan penerapan energi ramah lingkungan.
6/11/2023, 18.16 WIB

Ada juga 11 perizinan di Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemudian masing-masing 4 perizinan di Kementerian Pertahanan dan Kementerian Hukum dan HAM

  Sebanyak 52 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) masuk di dalam rencana investasi melalui skema pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). Berdasarkan comprehensive investment and policy plan (CIPP) JETP disebutkan jika total kapasitas 52 proyek itu sebesar 2,09 Gigawatt (GW) dengan perkiraan investasi yang senilai US$ 2,38 miliar atau Rp 36 triliun.

Dikutip dari CIPP JETP, proyek PLTS tersebut akan mulai dibangun pada 2024. Proyek PLTS menjadi daya tarik utama dalam draf CIPP JETP dibandingkan dengan proyek energi terbarukan lainnya seperti geothermal.  Dari segi perbandingan biaya investasi per Kilowatt (KW) pun, proyek PLTS lebih efisien dengan rentang US$ 790-1.190.

Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, mengatakan proyek PLTS harus memenuhi kriteria agar dana JETP tersebut bisa cair.  Untuk itu, dia mengingatkan pemerintah untuk segera melakukan reformasi kebijakan terkait Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN), mekanisme lelang, dan perjanjian pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA) yang bankable. 

“JETP memang memberikan semacam janji untuk pendanaan, tapi kita juga harus ingat uang itu tidak serta merta akan diberikan kepada proyek itu, tetapi juga harus bisa memenuhi persyaratan bankability yang ditetapkan peminjam,” ujar Fabby kepada Katadata.co.id, Senin (6/11). 

Fabby menyebutkan, sampai dengan hari ini sejumlah proyek PLTS dalam negeri belum memenuhi standar kelayakan keuangan internasional. Hal tersebut membuat para peminjam menjadi enggan untuk menggunakan produk Indonesia yang tidak sesuai standar mereka. 

Dia mengatakan, beberapa proyek PLTS dalam draft CIPP JETP tersebut belum masuk ke dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUTPL) yang disusun PLN. Proyek yang belum masuk tersebut nantinya akan dimasukkan ke dalam revisi RUPTL 2021-2030. 

Jika sudah masuk ke dalam RUPTL, proyek-proyek PLTS tersebut bisa dilelang, baik kepada  perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP), maupun dalam bentuk penugasan kepada anak perusahaan PT PLN. 

Jangan Terjebak JETP

Sementara itu, Direktur Eksekutif lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara,  mengatakan pemerintah jangan hanya terjebak pada dana JETP untuk pembiayaan transisi energi. 

 Pasalnya, masih banyak pendanaan yang lebih mengutungkan untuk membiayai proyek transisi energi di Indonesia seperti investasi dari Green Belt dan Road Initiative.

“Jadi dua ini cukup potensial. Jangan terjebak hanya pada JETP saja,” kata dia. 

Pemerintah juga bisa menggunakan skema hibah dari International Partners Group (IPG),  investasi langsung lembaga pembangunan maupun investasi swasta. 

“Jadi bagi pemerintah sendiri upaya mendorong instalasi PLTS membutuhkan skema yang lebih kreatif, mulai dari debt swap atau penukaran utang dengan investasi PLTS, hingga skema penugasan ke BUMN,” ujar Bhima.

Menurut dokumen CIPP JETP, kelompok IPG bisa mengucurkan pembiayaan hingga US$ 11,5 miliar untuk mendorong transisi energi di Indonesia.

Namun, sekitar US$ 6,9 miliar (60%) di antaranya berupa pinjaman konsesi (concessional loan), yakni pinjaman dengan bunga lebih rendah, serta tenor dan masa tenggang pembayaran yang lebih longgar dari standar pasar.

Di samping pinjaman lunak tersebut, sekitar US$2 miliar (17%) pembiayaan JETP Indonesia diproyeksikan berupa jaminan (guarantee).

Jaminan (guarantee) itu akan dikucurkan oleh Inggris dan Amerika Serikat untuk memastikan pencairan pinjaman dari International Bank of Reconstruction and Development (IBRD), yang nantinya digunakan untuk pembiayaan JETP Indonesia.

Kemudian US$1,59 miliar (14%) pembiayaan JETP berupa pinjaman non-konsesi (non-concessional loan), yaitu pinjaman dengan tingkat bunga sesuai standar pasar dengan tenor lebih panjang.

Ada pula pembiayaan yang berupa investasi ekuitas senilai US$384,5 juta (3%), pembiayaan lain-lainnya US$345,3 juta (3%), dan dana hibah US$292,3 juta (3%).

Sementara, sampai awal November 2023 CIPP belum merinci skenario pembiayaan dari kelompok GFANZ.

Reporter: Nadya Zahira