Koalisi Civil Society Organization (CSO) menilai rancangan rencana investasi dan kebijakan komprehensif (comprehensive investment and policy plan/CIPP) kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) masih belum serius dan setengah hati berpihak pada upaya transisi energi yang berkeadilan.
Hal tersebut lantaran minimnya target pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dalam draf rencana CIPP JETP sehingga berpotensi memperlambat reformasi sistem energi Indonesia menjadi lebih hijau guna mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Direktur Eksekutif dan Ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan, dokumen CIPP JETP masih cukup kontradiktif. Target bauran energi terbarukan dalam CIPP cukup ambisius, yakni mencapai 44% pada 2030. Namun, hanya dua PLTU yang masuk daftar pensiun dini dalam skema ini, yaitu PLTU Pelabuhan Ratu dan PLTU Cirebon.
Bhima mengatakan, sebagian PLTU yang masuk pensiun dini yakni PLTU Cirebon-1, sebenarnya sudah masuk dalam skema energy transition mechanism (ETM) atau mekanisme transisi energi. Jadi, pemerintah seolah-olah tidak ada niatan untuk benar-benar melakukan penutupan PLTU batu bara.
“JETP menjadi tidak jelas, awalnya mau pensiun PLTU batu bara justru tidak dilakukan dengan serius,” ujar Bhima melalui keterangan resmi, Rabu (15/11).
Sementara itu, Direktur Program Transisi Bersih Harryadin Mahardika mengatakan, hal yang sama juga pernah dilakukan Indonesia. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang diterbitkan pada 2014, Indonesia menargetkan bauran energi terbarukan 23% pada 2023 dan 31% pada 2050.
Namun demikian, pada saat yang sama, Indonesia juga memulai program 35 Gigawatt (GW) yang mayoritas adalah PLTU batu bara. Penambahan PLTU akhirnya justru menggerus ruang pengembangan energi terbarukan, sehingga target bauran energi hijau tidak tercapai.
“Dalam dokumen CIPP, PLTU captive tidak dimasukkan. Padahal, pertumbuhannya sangat tinggi dari 1,3 GW pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023, dan masih terus bertambah," ujar Harryadin.
Hal tersebut akan menjadi penghalang besar yang dapat menggagalkan target nol emisi Indonesia, seperti sebelumnya. Meski target CIPP tercapai 100%, target nol emisi Indonesia tidak akan pernah tercapai lantaran PLTU captive akan tetap hasilkan emisi dalam jumlah yang besar.
Selain itu, dokumen CIPP juga masih kompromistis dan sangat jauh dari target untuk menahan kenaikan suhu Bumi sebesar 1,5 derajat Celcius. Pensiun dini PLTU yang hanya 1,6 GW dan PLTU captive yang tidak dihitung dalam dokumen CIPP, akan jadi ganjalan skenario menuju net zero emission.
Perbesar Dana Hibah
Koalisi CSO juga menyoroti porsi utang dan hibah dalam dana JETP. Bhima mengatakan, pendanaan dari negara maju (International Partners Group/IPG) sangat tidak menjunjung prinsip berkeadilan, khususnya Amerika Serikat yang jumlah pinjaman non-konsensionalnya sangat besar. Hal ini berarti Indonesia akan menanggung pinjaman dengan bunga pasar.
“Apa fungsinya menunggu dokumen CIPP JETP dirilis kalau kesepakatan dengan negara maju hanya biasa saja, masih pinjaman yang sifatnya business as usual?” kata Bhima.
Selaras dengan hal ini, Koordinator Perkumpulan AEER Pius Ginting menyatakan, Sekretariat JETP dan pemerintah Indonesia harus berjuang meningkatkan porsi hibah dalam pendanaan JETP.
Menurut dia, Jepang sebagai anggota IPG perlu meningkatkan tanggung jawab pendanaan dalam bentuk hibah, mengingat perannya dalam investasi PLTU di Indonesia, sebagai pasar ekspor batu bara, dan kontribusi pada emisi sektor transportasi di mana sebagian besar kendaraan yang ada di pasar masih terkait investasi Jepang.
“Sikap yang lebih baik diberikan oleh Jerman dengan mengalokasikan US$ 167 juta dalam bentuk hibah atau technical assistance, atau 10% dari jumlah pendanaan publik oleh Jerman.
Dia mengatakan, porsi jumlah hibah dari dana JETP juga seharusnya menjadi acuan bagi negara IPG lainnya sebagai pelaksanaan dari prinsip common but differentiated responsibility dalam pendanaan mengatasi planet yang semakin mengalami perubahan iklim.