PT Astra International fokus menjajaki bisnis energi baru terbarukan (EBT). Salah satu yang menjadi fokus perusahaan dengan kode emiten ASII itu adalah pembangkit listrik panas bumi atau geothermal.
Direktur Astra International, FXL Kesuma, mengatakan bisnis energi terbarukan merupakan kombinasi dari faktor resiko dan return. Terlebih lagi bisnis Geothermal memiliki risiko yang tinggi dan tidak mudah untuk didapatkan.
Namun, Astra tetap fokus memasuki sektor energi terbarukan dan tengah mempersiapkan diri merambah ke bisnis tersebut. Dia mengatakan, energi terbarukan yang sedang dieksplorasi oleh Astra kemungkinan terletak di lokasi dengan risiko tinggi, namun sudah terbukti memiliki potensi. Dia mengakui membutuhkan waktu untuk mengembangkannya.
"Misalnya, kami akan fokus pada geothermal pada tahapan selesai eksplorasi dengan kapasitas yang sudah diketahui. Renewable energy ini yang masih pada tahap greenfield belum menjadi pertimbangan kami," ujarnya dikutip dari keterbukaan informasi, Kamis (23/11).
Kesuma mengatakan, terdapat hambatan dari pengembangan bisnis geothermal yaitu masalah infrastruktur. Pasalnya lokasi geothermal biasanya terdapat di daerah yang jauh dari pusat permintaan listrik.
"Walaupun infrastrukturnya mahal, tetapi terdapat prospek yang baik ke depannya," ujarnya.
Menurut Kesuma, salah satu bisnis geothermal yang menguntungkan berada di Jepang. Di negara tersebut, bisnis geothermal dikombinasikan dengan pariwisata sehingga infrastrukturnya bisa dinikmati oleh dua sektor bisnis sekaligus.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memberikan sejumlah insentif dan kemudahan untuk menarik perusahaan besar menggarap pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Hal itu dilakukan karena saat ini sejumlah perusahaan-perusahaan besar sedang menggarap pembangkit hijau tersebut.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, pihaknya akan memberikan kemudahan bagi investor yang ingin berinvestasi di industri panas bumi Indonesia karena dinilai ideal untuk melakukan perdagangan karbon.
“Ya kita pasti akan memberikan banyak kemudahan ya, karena panas bumi ini ideal untuk carbon swap atau menurunkan emisi karbon,” ujar Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (11/8).
Arifin mengatakan selain minim emisi karbon, kemudahan tersebut diberikan juga karena panas bumi termasuk ke dalam energi baru terbarukan (EBT) yang sejalan dengan upaya pemerintah menggenjot pasar karbon di Indonesia. "Selain carbon swap, kemudian nanti carbon capture ini akan jadi fokus untuk program pengurangan emisi," ujarnya.
Menurut data ThinkGeoEnergy, Indonesia memiliki kapasitas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) terbesar kedua di dunia yaitu mencapai 2.133 megawatt (MW) pada 2020. Jumlah tersebut menyumbang 3,01% pembangkit listrik nasional.