Tren Pembangunan Energi Terbarukan RI Melambat, Ancam Target NZE

ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.
Warga menunggangi kuda saat melintas di area Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Kamis (9/7/2020). Kementerian ESDM mencatat bauran energi baru dan terbarukan (EBT) telah mencapai 15 persen dari target sebesar 23 persen pada 2025.
13/12/2023, 09.41 WIB

Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan tren pembangunan energi terbarukan cenderung melambat yakni hanya mencapai 0,97 Gigawatt (GW) dari target 3,4 GW pada kuartal keempat 2023. Jika tren ini berlanjut, Indonesia berpotensi tidak bisa mencapai puncak emisi karena dekarbonisasi sektor daya cenderung stagnan, sedangkan emisi sektor permintaan terus naik.

“Hal ini membuat, langkah Indonesia untuk menurunkan emisi akan semakin sulit jika tidak disertai ambisi penurunan emisi yang tinggi dan komitmen politik yang kuat,” ujar Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, melalui keterangan resminya, Rabu (13/12). 

Indonesia menargetkan untuk mencapai puncak emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2035 untuk selanjutnya melandai hingga tercapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal. Dalam mencapai target ini dibutuhkan dukungan regulasi dan investasi yang lebih tinggi. 

Menurut dia, Indonesia telah mengeluarkan rencana dan komitmen transisi energi dengan terbitnya beberapa kebijakan pemerintah seperti Peraturan Presiden 112/2022 tentang percepatan pembangunan energi terbarukan, dan pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional (KEN) oleh Dewan Energi Nasional. 

Namun, Fabby menilai implementasi untuk mempercepat transisi energi masih membutuhkan dukungan dari segi regulasi dan investasi. Untuk itu, IESR membuat sebuah laporan berjudul Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024. Laporan ini bertujuan untuk memantau perkembangan dan proyeksi transisi energi di Indonesia.

 “IESR melalui IETO 2024 mencoba mengukur proses transisi energi dalam berbagai sektor, seperti ketenagalistrikan, industri, transportasi dan bangunan,” kata Fabby. 

Fabby mengatakan, IESR juga berupaya untuk menilai kondisi pendukung, khususnya di sektor ketenagalistrikan, yang menentukan kesuksesan atau kegagalan transisi energi di Indonesia. 

 Dia menyebutkan, terdapat empat enabling condition yakni kerangka kebijakan dan regulasi, dukungan pendanaan dan investasi, aplikasi dari teknologi serta dampak sosial dan dukungan masyarakat. 

 IETO 2024 juga menyoroti agar dapat mencapai target emisi kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) 250 MtCO2e/y pada tahun 2030, hasil simulasi IESR menunjukkan Indonesia perlu mengurangi 4,29 GW Pembangkita Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dan diesel hingga 2030. 

 “Selain itu, Indonesia harus menggenjot pembangunan energi terbarukan setidaknya 30,5 GW tambahan hingga 2030,” kata dia. 

 Sementara itu, Analis Energi Terbarukan IESR, Pintoko Aji menyebutkan penetrasi energi terbarukan variabel (PLTS dan PLTB) yang tinggi akan membuat konsep pembangkit baseload atau pembangkit yang beroperasi secara berkesinambungan dengan kapasitas yang tinggi, menjadi tidak relevan.

 “Dengan adanya kebutuhan untuk meningkatkan penetrasi variable renewable energy (VRE), sistem ketenagalistrikan Indonesia membutuhkan sistem yang lebih fleksibel dan responsif,” kata dia.  

 Makna fleksibel artinya, tingkat sistem ketenagalistrikan dapat menyesuaikan dengan beban dan sebagai reaksi variabilitas produksi listrik dari VRE. Untuk melakukannya, diperlukan pendalaman materi untuk pembatasan kontraktual.

 “Misalnya, perubahan kontrak (legal) dari menerima atau membayar (take-or-pay) ke menerima dan membayar (take-and-pay) dan insentif fleksibilitas,” ujar Pintoko.

 Disisi lain, IESR meminta pemerintah untuk menunjukkan komitmen politik yang lebih kuat dan langkah-langkah yang konkret untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan. Selain itu, strategi dekarbonisasi perlu diterapkan di seluruh sektor agar saling mendukung. 

 Maka dari itu, IESR memandang presiden baru yang akan terpilih pada Pemilu 2024 harus menciptakan momentum transisi energi sedari awal kepemimpinan.

Reporter: Nadya Zahira