Pengembangan Industri Panas Bumi RI Lamban, Perlu Ubah Bisnis Model

PLN
PLN telah lebih dulu melakukan studi terhadap sembilan wilayah kerja yang ditawarkan. Lewat skema GEEDA, pengembangan panas bumi dilakukan melalui kolaborasi antara PLN sebagai off-taker dan investor.
15/1/2024, 13.02 WIB

Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk sekaligus Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Julfi Hadi, mengatakan pengembangan industri panas bumi atau geothermal di Indonesia sangat lamban.

Data dari Kementerian ESDM (2023) menunjukkan Indonesia memiliki potensi panas bumi sebesar 23,06 GW. Meski demikian, pengembangannya berjalan relatif lambat dengan hanya sekitar 2,35 GW atau sekitar 10,19% baru dimanfaatkan dari total potensi yang ada.

Julfi mengatakan, kolaborasi antar industri dengan pemerintah sangat kursial untuk mempercepat akselarasi transisi energi ke energi hijau. Kolaborasi itu baik dari industri geothermal, PLN, dan juga pemerintah.

“Kunci pertama, kalau kita mau akselerasi, kita harus kolaborasi,” kata Julfi Hadi dalam Webinar Strategi Penciptaan Nilai Tambah Panas Bumi sebagai langkah mendukung Net Zero Emission 2060 melalui daring, Senin (15/1). 

Julfi menuturkan, kunci yang kedua dengan mengubah bisnis model yang sesuai dengan isu saat ini. Salah satunya dengan memperbarui teknologi dalam pemanfaatan panas bumi. 

“Kedua kita harus merubah jenis bisnis model sesuai dengan bisnis model kita fokuskan sekarang yang tidak sensitif terhadap isu affordability, yakni daya jangkau atau daya beli masyarakat. Kurang lebih seperti teknologi, menciptakan nilai. Kita mempercepat Commercial Operation Date (COD) kita,” ucapnya.

Julfi mengatakan upaya untuk mengurangi pengeluaran juta diperlukan agar panas bumi tidak menjadi yang termahal dari EBT lainnya. “Kita buat juga bukan high temperature eksplorasi, tapi cuman intermediet dan low temperature. Kita harus cut cost, tidak mungkin kita driling dengan harga yang sekarang,” kata Julfi.

Beberapa solusi yang diajukan API dalam pertumbuhan panas bumi:

1. Energi panas bumi tidak hanya mempunyai single off-taker

Jufi mengatakan, pemerintah harus menciptakan ekosistem yang ideal untuk pengembangan panas bumi. Kebijakan yang bisa diambil antara lain melalui tarif yang mendukung kelangsungan hidup atau komersial. 

Selanjutnya, Pemerintah dapat menyediakan program eksplorasi yang mengurangi risiko, dukungan insentif, kebijakan tarif, serta regulasi produksi awal.

2. Pengembangan teknologi panas bumi

Industri perlu berkolaborasi dengan pemangku kepentingan untuk memanfaatkan teknologi dan penelitian demi inovasi dan efisiensi operasional. Julfi mendorong kolaborasi sinergis pemanfaatan teknologi baru untuk sumur dan pembangkit listrik.

“Untuk kita menuju ke early production, teknologi harus ada dan didukung. Juga modular power plant harus dan low to intermediate temperature juga harus didukung,” katanya.

3. Pengembangan produk sekunder dan kredit Karbon

Indonesia harus mengembangkan produk sekunder untuk meningkatkan daya tarik dan kelangsungan proyek panas bumi. Kebijakan yang bisa diambil antara lain, penerbitan peraturan yang menetapkan bahwa kepemilikan kredit karbon adalah milik Independent Power Producers (IPPs).

Kedua, kerangka peraturan untuk produk sekunder dan menciptakan ekosistem yang ideal, misalnya grid sharing.

4. Masalah rantai pasokan

Julfi mengatakan, pemerintah sebaiknya meninjau kembali aturan dan nilai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dikaitkan dengan situasi industri saat ini. Pemerintah juga perlu memberikan insentif tambahan untuk konten lokal sebagai stimulus pada industri pengeboran dan pembangkit listrik.

“Kalau Power Plant TKDN 30% masih susah. Sekarang IPP sedang bingung dan memutar otak bagaimana caranya ini bisa masuk. Kita ingin peralatan dari Indonesia, tapi kita mohon tolong di review regulasinya dan insentif-insentif kalau ada agar kita segera mulai,” ujarnya.

Reporter: Rena Laila Wuri