Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) menyatakan pengembangan pembangkit  listrik tenaga panas bumi atau geothermal di Indonesia cenderung lamban karena teknologinya belum mapan.  Padahal, potensi energi panas bumi di Indonesia mencapai sekitar 24.000 megawatt (MW) atau 40 persen dari cadangan dunia.

Ketua Umum API, Julfi Hadi, mengatakan, Indonesia telah memiliki pengalaman 40 tahun dalam pengembangan panas bumi. Namun masih ada sejumlah kendala yang harus dihadapi, mengingat panas bumi merupakan bisnis yang bergantung dengan sumber daya alam.

Direktur Utama Pertamina Geothermal tersebut mengatakan, hambatan pertama adalah margin dari proyek panas bumi tinggi. Hal itu menjadikan tarif energi panas bumi lebih mahal dibandingkan dengan energi fosil seperti batubara.

“Hambatan paling besar adalah tentunya komersialisasi dari proyek itu sendiri,” kata Julfi dikutip dari YouTube IDX Channel, Senin (18/3).

Kemudian yang kedua, hambatan dari segi commercial operation date (COD) yang lama. Julfi mengatakan, bisnis ini tergantung dengan sumber daya alam yang ada, sehingga harus dikelola dengan baik.

Julfi mengatakan, hambatan yang ketiga adalah pemerintah masih fokus dalam penyediaan energi yang terjangkau dan ramah lingkungan. Untuk itu, API sedang mendorong pengoptimalan serta memperbarui bisnis model panas yang ada saat ini.

Teknologi Panas Bumi Belum Semaju Migas

Ia mengatakan, API akan mempercepat COD dengan memulai pengurangan risiko eksplorasi lebih cepat. Dengan demikian, pengembangan panas bumi tidak perlu lagi mengambil risiko tinggi.

Pengurangan risiko tersebut, kata Julfi, bisa dilakukan dengan cara memperbarui teknologi panas bumi yang ada saat ini. Hal ini karena teknologi panas bumi Indonesia tidak mutakhir seperti teknologi ekspolasi minyak dan gas saat ini.

“Tidak seperti minyak dan gas bumi teknologinya sudah sangat mapan dan geothermal belum. Dan ini harus diupdate segera,” ujar dia.

Selain itu, kata Julfi, rantai pasok (supply chain) panas bumi di Indonesia masih bergantung kepada luar negeri. Pasalnya, Indonesia tidak memiliki turbin panas bumi saat ini.

Julfi mengatakan, API akan mengubah rantai pasok panas bumi di Indonesia bersamaan dengan memperbarui bisnis modelnya. Hal ini dilakukan untuk mempercepat pengembangan panas bumi di Indonesia.

Panas Bumi dan Bioenergi Jadi Sumber Listrik Baru Indonesia

Panas bumi dan bioenergi dianggap sebagai sumber energi potensial untuk pembangkit listrik di Indonesia, khususnya pada periode transisi energi. Dua sumber energi alternatif itu memiliki sejumlah keunggulan ketimbang bahan bakar yang telah ada seperti minyak, gas dan batu bara.

Senior Fellow Purnomo Yusgiantoro Center (PYC), Evita Legowo mengatakan panas bumi memiliki keluaran emisi lebih rendah ketimbang minyak, gas dan batu bara. Evita menilai pemanfaatan bioenergi dan panas bumi berpotensi untuk menjadi beban listrik utama menggantikan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

“Indonesia punya energi baru yang besar, adalah bio energi dan panas bumi,” kata Evita dalam Indonesa Data and Economic Conference (IDE) Katadata 2024 di Hotel Kempinski Indonesia, Selasa (5/3).

Kendati demikian, dia mengusulkan adanya penegasan regulasi terkait penggunaan bioenergi untuk bahan bakar pembangkit listrik. Alasannya, penggunaan biomassa berlebihan seperti pelet untuk co-firing PLTU berpotensi untuk memperbesar pembukaan lahan hutan nantinya.

Menurut Evita, mekanisme pemakaian biomassa untuk co-firing PLTU harus memperhatikan ketersediaan bahan baku dan lingkungan. Hal ini untuk mencegah terulangnya dampak eksploitasi berlebihan pada minyak bumi domestik pada medio 1980-an. “Harus berhati-hati agar tidak menggunduli hutan. Supaya tidak seperti minyak yang keburu habis,” ujar Evita.

Reporter: Rena Laila Wuri