Thailand dan Filipina akan mengembangkan reaktor nuklir dalam 10 tahun kedepan. Momentum ini menuju pembangkit listrik operasional pertama di kawasan di Asia Tenggara.
Thailand telah mengutarakan komitmennya melalui rencana energi nasional hingga 2037 pada bulan September lalu. Dalam rencana energi nasional tersebut diharapkan untuk menggabungkan reaktor modular kecil (SMR).
“Pemerintah akan melihat lokasi potensial untuk reaktor, yang akan mencapai kapasitas 70 megawatt,” kata pejabat Pemerintah Thailand dikutip dari Nikkei Asia, Selasa (26/3).
Thailand memiliki keinginan untuk memasang tenaga nuklir sejak tahun 2000-an. Akan tetapi kehancuran 2011 di pabrik Fukushima Daiichi Jepang membuat upaya tersebut ditangguhkan.
Kemudian, perkembangan SMR menyalakan kembali minat Bangkok pada tenaga nuklir. Diketahui, SMR menghasilkan daya lebih sedikit daripada reaktor konvensional, tetapi dianggap lebih aman.
AS, Inggris, dan Cina termasuk di antara negara-negara yang berlomba untuk mengembangkannya. Pada November 2022, Washington akan memberikan dukungan teknologi SMR kepada pemerintah Thailand, yang saat itu dipimpin oleh Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.
Perdana menteri Thailand Srettha Thavisin, mengatakan pihaknya kembali membahas kemungkinan kerja sama dengan AS dalam pengembangan tenaga nuklir tersebut. Pembahasan ini ditandai ketika Sekretaris Perdagangan Gina Raimondo berkunjung di Bangkok pada 14 Maret.
Selanjutnya, Srettha mengatakan Thailand akan meneliti keamanan SMR dan meminta masukan publik.Thailand terus mempromosikan tenaga nuklir. Hal ini karena ladang gas alamnya mulai habis untuk kebutuhan listrik negara.
Pemerintah Thailand telah berjanji untuk menjadi netral karbon pada 2050, memicu kebutuhan akan sumber daya yang stabil untuk menggantikan gas dan batu bara.
Sedangkan, Filipina juga melakukan hal serupa. Filipina berencana untuk mengoperasikan stasiun nuklir komersial pada awal 2030-an.
Pemerintah Filipina dan AS telah menandatangani perjanjian tentang tenaga nuklir sipil pada November 2023. Perjanjian tersebut memungkinkan transfer bahan nuklir, peralatan dan informasi antara kedua negara.
SMR dianggap sebagai kandidat utama untuk diadopsi oleh Filipina. Perusahaan AS NuScale Power berencana untuk menginvestasikan hingga US$ 7,5 miliar hingga 2031 untuk membangun reaktor di negara Asia Tenggara.
Filipina berusaha membangun pembangkit nuklir Bataan di Luzon di bawah mantan Presiden Ferdinand Marcos Sr. Namun, rencana untuk membuka pabrik ditinggalkan sebagai akibat dari bencana nuklir Chernobyl di Uni Soviet, dan juga gerakan pro-demokrasi negara yang menyebabkan kepergian Marcos tahun 1986.