Realisasi JETP Lambat Imbas Komitmen Transisi Energi RI Belum Serius

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.
Aktivis yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia menggelar aksi teatrikal terkait Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP) di depan Kedutaan Besar Jepang, Jakarta, Senin (20/11/2023). Dalam aksinya, mereka juga menyerahkan dokumen untuk disampaikan kepada pemerintah Jepang terkait masukan masyarakat sipil di Indonesia terhadap dokumen Rencana Investasi dan Kebijakan Komprehensif (CIPP) Just Energy Transition Partnership (JETP).
26/4/2024, 14.18 WIB

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai investasi Just Energy Transition Partnership (JETP) lambat direalisasikan. Hal itu karena arah kebijakan pemerintah Indonesia yang belum bisa membuat International Partners Group dan juga lembaga internasional lainnya meyakini komitmen transisi energi di Tanah Air.

JETP merupakan program pendanaan yang diberikan negara-negara maju untuk mendukung transisi energi negara berkembang. 

Bhima mengatakan, salah satu faktor keraguan tersebut dipengaruhi oleh kebijakan pemerintan Indonesua yang masih memberikan izin pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive di kawasan industri melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 Tahun 2022

“Ini membuat  pihak yang ingin mendanai pensiun dini PLTU milik PLN  menjadi ragu,” kata Bhima saa dihubungi Katadata, Jumat (26/4).

Ia mengatakan, saat ini Sekretariat JETP Indonesia sedang dalam proses pendataan PLTU milik industri. Ia mendorong pendataan ini dipercepat sehingga bisa mendorong dikeluarkannya regulasi baru untuk menghentikan pemberian izin PLTU baru di kawasan industri. Jika tidak ada regulasi baru, maka Indonesia akan kesulitan mencapai target net zero emission (NZE).

Bhima mengatakan, kelebihan listrik PLTU milik PLN yang ada saat ini bisa disalurkan ke kawasan industri, tanpa membuat PLTU baru. Pemerintah juga diharapakan mendorong industri peleburan nikel dapat membangun energi baru terbarukan (EBT).

“Paling tidak yang sudah terlanjur dibangun PLTU batubara di kawasan industri bisa dikurangi kapasitasnya, lalu digantikan dengan energi terbarukan,” ucapnya.

Sebagai informasi, pembangkit listrik tenaga batu bara yang dioperasikan oleh industri tidak disertakan dalam rencana JETP. Pemerintah memerlukan lebih banyak waktu untuk memikirkan cara melindungi sektor industri pertambangan, terutama peleburan nikel.

Halaman:
Reporter: Rena Laila Wuri