Bebas Emisi Karbon Butuh Investasi Energi Rp 71.400 Triliun per Tahun

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Panel surya di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021).
Penulis: Happy Fajrian
19/5/2021, 16.36 WIB

Perjanjian Paris 2015 tentang perubahan iklim berupaya membatasi kenaikan temperatur global maksimal 1,5° celsius untuk menghindari dampak kerusakan yang masif. Hal ini membutuhkan bebas emisi karbon atau emisi nol bersih (net zero emissions) gas rumah kaca pada 2050.

Untuk mencapai target tersebut, dunia harus segera beralih dari energi fosil, minyak, gas, dan batu bara, ke sumber energi baru terbarukan. Namun peralihan tersebut tidak mudah ataupun murah.

Badan Energi Internasional (EIA) memperkirakan, untuk transisi energi demi mencapai target emisi nol bersih pada 2050 akan membutuhkan investasi di sektor energi sebesar US$ 5 triliun atau lebih dari Rp 71.400 triliun (kurs US$ 1 = Rp 14.280) per tahun hingga 2030.

Jumlah tersebut lebih dari dua kali lipat investasi di sektor energi saat ini yang hanya sekitar US$ 2 triliun atau Rp 28.500 triliun. Tidak hanya itu investasi di sektor energi fosil juga harus segera dikurangi atau bahkan dihentikan.

“Investasi global di sektor energi fosil juga harus turun dari sekitar US$ 575 miliar (Rp 8.200 triliun) per tahun selama lima tahun terakhir menjadi hanya US$ 110 milar per tahun pada 2050,” tulis laporan IEA bertajuk ‘Net Zero by 2050’, seperti dikutip CNBC International, Rabu (19/5).

IEA menyebutkan investasi energi fosil sebesar US$ 110 miliar pada 2050 hanya dibutuhkan untuk menjaga produksi pada lapangan minyak dan gas bumi eksisting. Walaupun prospek perusahaan energi global menghentikan proyek bahan bakar fosilnya mulai tahun depan sangat kecil kemungkinannya.

Perusahaan energi besar di dunia pun masih memiliki rencana investasi yang berfokus pada pengembangan energi fosil. Menurut laporan IEA, perusahaan energi dunia masih mencari dan menemukan ladang-ladang migas baru.

Bahkan Norwegia, salah satu negara penghasil minyak terbesar di Eropa, masih merencanakan putaran perizinan proyek migas baru. Padahal, negara-negara Skandinavia, termasuk yang terdepan di dunia dalam hal transisi energi. Simak databoks berikut ini:

Sedangkan investasi sekitar US$ 5 triliun per tahun dibutuhkan salah satunya untuk mengembangkan energi baru terbarukan. Menurut peta jalan IEA tentang emisi nol bersih 2050, untuk memuluskan upaya mencapai target tersebut, pembangkit listrik tenaga surya dan angin akan menjadi andalan.

Dua sumber energi baru terbarukan ini, terutama energi surya, akan mendominasi sumber listrik dunia. Kontribusinya terhadap pembangkitan listrik secara global akan mencapai 70% pada 2050. Sementara kontribusi bahan bakar fosil akan turun dari sekitar 80% menjadi sedikit di atas 20% saja pada 2050.

IEA memperkirakan, tambahan kapasitas listrik dari pembangkit tenaga surya dan listrik akan mencapai masing-masing sebesar 630 gigawatt dan 390 gigawatt. Ini tidak hanya membutuhkan investasi yang super besar tetapi juga dukungan kebijakan pemerintah di seluruh dunia.

Simak perkembangan tambahan kapasitas energi terbarukan dunia pada databoks berikut:

Selanjutnya transisi energi akan menyebabkan sekitar 5 juta pekerjaan di sektor migas dan batu bara hilang. Meski demikian pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan akan menciptakan sekitar 14 juta lapangan pekerjaan baru hingga 2030.

“Peta jalan kami menujukkan prioritas yang harus dilakukan untuk memastikan peluang mencapai target emisi nol bersih masih bisa tercapai meski kecil. Namun tidak sepenuhnya hilang (peluang),” kata Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol.

Dia mengakui skala upaya dan kecepatan eksekusi yang dibutuhkan untuk mencapai target menahan kenaikan temperatur global 1,5° celsius merupakan tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia.