Ditargetkan Nol Emisi Karbon, PLN Diminta Tak Lanjutkan Proyek PLTU

Image title
10 Mei 2021, 19:15
pltu, pln, emisi
ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra
Foto udara cerobong di kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Ombilin di Desa Sijantang, Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, Kamis (17/10/2019).

PLN diminta untuk tidak membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) paling tidak pada 2025, terutama jika ingin menjadi perusahaan yang netral karbon pada 2050. Pasalnya untuk mencapai target tersebut, maka puncak emisi karbon harus terjadi pada 2030.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai langkah ini penting sehingga PLN tidak bisa menunggu hingga proyek 35.000 MW rampung baru fokus pada pembangkit energi baru terbarukan (EBT).

Advertisement

Jika masih tetap membangun PLTU, maka usia produktifnya akan lebih panjang dari 2050 dan untuk menutupnya akan menimbulkan beban finansial baik untuk PLN atau negara. Sehingga menghentikan PLTU lebih dini bisa mengurangi risiko stranded assets (aset terbengkalai) dan beban finansial tersebut.

"Untuk mencapai net-zero emission (nol emisi bersih) pada 2050, maka PLN harus berhenti membangun PLTU secepat mungkin," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (10/5).

Fabby mengatakan seiring dengan kenaikan permintaan listrik, moratorium PLTU harus dibarengi dengan kenaikan pembangkit energi terbarukan. Dari kajian IESR, untuk mencapai nol emisi bersih pada 2050 dan emisi puncak di 2030, maka dari sekarang hingga 2030 harus membangun 100 GW pembangkit energi terbarukan.

Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) bisa menjadi pilihan karena dapat dibangun dengan cepat dan biaya investasinya yang semakin murah dibandingkan pembangkit energi terbarukan lainnya. Namun tak menutup kemungkinan seluruh pembangkit energi terbarukan dikembangkan secara bersamaan dengan pertimbangan biaya.

Dari perhitungan IESR, harga listrik PLTS + Storage setelah 2027 akan lebih murah dari PLTU, baik yang baru maupun yang sudah beroperasi. Sehingga jika PLN ingin menurunkan biaya penyediaan listrik di sistemnya maka harus lebih awal mengurangi PLTU.

"Dari tahun lalu dari 35.000 MW itu ada 5.000 -6.000 MW yang masih dalam perencanaan dan kontrak yang mungkin tidak dilanjutkan. Jadi sebaiknya 5.000 - 6.000 MW ini yang diganti dengan pembangkit energi terbarukan," ujarnya.

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya mengatakan dari program 35.000 MW, setidaknya 20.000 MW yang berasal dari PLTU batu bara ditambah 7.000 MW PLTU batu bara dari Fast Track Program (FTP) 2.

Halaman:
Reporter: Verda Nano Setiawan
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...
Advertisement