Potensi Jebakan Utang dari Minimnya Hibah Dana Transisi Energi JETP

ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/rwa.
Warga melaksanakan persembahyangan di dekat panel surya yang terpasang di area persawahan desa berbasis energi baru dan terbarukan (EBT), Desa Keliki, Gianyar, Bali, Jumat (16/9/2022).
18/11/2022, 20.05 WIB

Pemerintah diminta mewaspadai bunga pinjaman dari skema utang yang ditawarkan dalam pendanaan transisi energi melalui skema kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau Rp 310 triliun yang digawangi Amerika Serikat (AS) dan Jepang.

Dana JETP Afrika Selatan, yang disepakati pada COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu, dilaporkan didominasi oleh utang atau pinjaman lunak dan komersial, dengan porsi hibah kurang dari 3%.

Peneliti dan Program Manager Trend Asia, Andri Prasetiyo, menyatakan langkah tersebut sebagai sikap antisipasi agar tidak menimbulkan beban negara di kemudian hari.

Menurut dia, pemerintah harus memastikan bahwa pendanaan tersebut memiliki porsi hibah atau pembiayaan lunak yang cukup ketimbang pembiayaan komersial yang mengikuti tingkat bunga yang berlaku di pasar.

"Pendanaan JETP sebagai inisiatif iklim diharapkan mampu membantu negara berkembang untuk pensiun PLTU, maka yang dibutuhkan adalah soal hibahnya yang lebih besar. Karena dengan begitu bentuk tanggung jawab negara maju sebagai pihak yang banyak mengasilkan emisi," ujarnya kepada Katadata.co.id. Jumat (18/11).

Adapun pendanaan iklim sebesar US$ 20 miliar tersebut akan salurkan lewat dua pihak, US$ 10 miliar lewat dana publik negara pendonor dan US$ 10 miliar lewat lembaga keuangan dunia yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ) Working Group.

Dalam GFANZ, tergabung sejumlah perbankan global seperti Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered. Andri menyebut, skema pendanaan JETP berpotensi menjadi beban hutang baru yang bakal menjerat negara akibat porsi hibah yang lebih minim dari pinjaman.

"Harapannya porsi hibah lebih besar, ada resiko bahwa JETP ini jadi semacam utang baru karena porsi hibah ini tidak cukup untuk membantu negara berkembang seperti Indonesia untuk keluar dari ketergantungan batu bara, karena hibahnya kecil," ujarnya.

Setelah menyepakati pendanaan transisi energi melalui kemitraan JETP senilai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun, ada sejumlah rencana aksi yang harus diselesaikan pemerintah Indonesia dan mitra negara pendonor sebelum dana tersebut bisa disalurkan.

Dalam dokumen pernyataan bersama (joint statement) pemerintah Indonesia dan negara donor JETP yang diperoleh Katadata.co.id, salah satu rencana aksi yang harus diselesaikan yaitu menyusun rencana investasi terkait kebutuhan pendanaan untuk proyek transisi energi yang adil, dalam waktu enam bulan.

Direktur Eksekutif Yayasan Cerah, Adhityani Putrin, menilai bahwa JETP ini mengusung konsep blended finance, di mana sumber-sumber pendanaan ini akan diramu menjadi paket pendanaan dengan bunga serendah mungkin yang menguntungkan bagi Indonesia.

"Yang sering ditanyakan, dana ini pinjaman atau apa, yang pasti akan ada proporsi dari dana tersebut dari pinjaman, baik pinjaman lunak, sedangkan dari swasta bisa jadi pinjaman komersial," ujar Adhityani.

Adhityani berharap bahwa dari semua jenis pendanaan dalam JETP, porsi utang bisa seminim mungkin sehingga tidak menjadi beban negara. "Sebaiknya pendanaan berupa skema investasi atau pinjaman lunak yang sudah disesuaikan dengan terms PLN ataupun pelaku sektor energi lainnya yang akan terlibat," ujarnya.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu