Jalan Panjang RI Kembangkan Teknologi CCUS yang Mahal Demi Tekan Emisi

Arief Kamaludin (Katadata)
Ilustrasi emisi karbon dari aktivitas industri.
Penulis: Happy Fajrian
21/12/2022, 19.07 WIB

Langkah menuju target net zero emission atau nol emisi karbon cukup menantang bagi Indonesia. Di sisi lain, Indonesia membutuhkan energi dalam jumlah besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sehingga penggunaan energi fosil yang lebih murah akan tetap dibutuhkan.

Tenaga ahli Kepala SKK Migas, Luky A. Yusgiantoro mengatakan emisi karbon akibat penggunaan energi berbasis fosil, terutama minyak dan gas (migas), tetap bisa diminimalisir dengan menerapkan teknologi penangkapan, pemanfaatan dan penyimpanan karbon (carbon capture, utilization, and storage/CCUS).

CCUS dapat menekan emisi karbon dengan cara menangkap karbon, baik karbon dari aktivitas industri maupun dari udara langsung, dan menyimpannya di dalam formasi geologis. Namun penerapan teknologi ini secara massal masih terkendala pada nilai investasinya yang sangat besar, sehingga butuh dukungan atau insentif.

“CCUS ini adalah value chain, dari capturing, transportation, hingga storage. Di mana keekonomian dari capturing bisa mencapai 73% dari total biaya,” ujar Luky dalam webinar Optimalisasi Kebijakan dan Implementasi Perkembangan Teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage sebagai Pendukung Energi Yang Ramah Lingkungan, Rabu (21/12).

Keekonomian atau efisiensi penerapannya merupakan satu dari tiga perspektif yang harus dipertimbangkan dalam CCUS, selain teknologinya itu sendiri dan dukungan kebijakan dari pemerintah.

Principal Energy Data Analysis Consultant Chakra Giri Energi Indonesia Tjipto Juwono mengungkapkan bahwa secara global penangkapan emisi karbon di atmosfer maupun industri mencapai 7,6 miliar ton per tahun, dan baru dimanfaatkan 200 juta ton per tahun.

“Suatu tantangan bahwa Indonesia harus berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) seperti yang tertuang dalam NDC, di sisi lain membutuhkan energi yang sangat besar untuk pertumbuhan ekonominya,” ujarnya.

Pemerintah Indonesia saat ini memiliki 15 project teknologi CCUS yang berada pada tahap desktop study hingga pilot project. Dua diantaranya sudah dilakukan di Lapangan Gundih, Sukowati, hingga yang paling awal adalah di Lapangan Tangguh.

Untuk mengoptimalkan penerapan CCUS dalam mencapai target NZE, pada tahun 2030 akan membutuhkan 25% teknologi CCUS yang saat ini masih dalam tahap pilot project, dan pada tahun 2050 setengah dari upaya penurunan CO2 direncanakan berasal dari teknologi CCUS yang juga masih dalam tahap pilot project.

CEO dan Founder Chakra Giri Energi Indonesia, Herman Huang menilai penerapan aplikasi CCUS sangat penting untuk menekan emisi karbon. Namun teknologi yang masih dikembangkan itu harus sampai pada tahap level sustainable atau berkelanjutan dan profitable atau menguntungkan.

“Sebab penerapan CCUS saat ini masih terkendala pada ekosistemnya yang belum siap. Terutama pada masalah teknis yang masih memerlukan studi dan peningkatan teknologi lebih baik lagi,” ujarnya.

Penerapan CCUS kedepan akan banyak tantangan yang dihadapi, strategi yang dapat dilakukan adalah dengan terus mengupayakan penelitian studi dan improvisasi teknologi CCUS, perlunya kerjasama dan kolaborasi dengan pihak industri, pemerintah dan akademisi, serta memerlukan integrasi khusus untuk menurunkan biaya.

Namun demikian, Huang optimis jika aplikasi CCUS di Indonesia bisa menjadi salah satu pilihan strategi untuk menuju net zero emission. Khususnya pada sektor migas yang masih sangat diperlukan, atau pada industri yang jejak karbonnya sulit untuk dihilangkan.

“Aplikasi CCUS tidak akan menghambat transisi energi menuju energi bersih, tetapi secara paralel bisa dikembangkan sebagai upaya pelengkap menuju net zero emission. Sebab transisi energi tidak bisa dilakukan secara sekaligus,” tukasnya.