Kementerian ESDM menyampaikan bahwa negara donor menambah pendanaan transisi energi melalui kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 8,4% menjadi US$ 21,7 miliar dari sebelumnya US$ 20 miliar.
Pemerintah bersama International Partners Group (IPG) telah mengidentifikasi dukungan pendanaan JETP dari pendanaan publik sebesar US$ 11,7 miliar dan pendanaan komersial sebesar US$ 10 miliar.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, menyampaikan sumber pendanaan publik diberikan dalam bentuk hibah, dana bantuan teknis, pinjaman lunak dan jaminan pinjaman.
Sedangkan pendanaan komersial akan difasilitasi oleh aliansi perbankan swasta di bawah GFANZ dalam bentuk pinjaman komersial. GFANZ terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
"Sesuai hasil pertemuan dengan IPG, telah diidentifikasi dukungan pendanaan JETP sebesar US$ 21,7 miliar," kata Dadan lewat pesan singkat pada Jumat (12/3).
Dadan menjelaskan, pendanaan hibah US$ 155 juta dan dana bantuan teknis sebesar US$ 157 juta telah membantu Indonesia untuk mengidentifikasi proyek-proyek prioritas yang akan didanai dalam pendanaan iklim JETP.
Proyek-proyek tersebut antara lain transmisi tenaga listrik di Sulawesi untuk percepatan pemanfaatan energi terbarukan di sektor pembangkit listrik dan pengurangan penggunaan batu bara.
Pemerintah juga berupaya untuk menekan resiko bunga dari sumber pendanaan pinjaman komersial dengan memastikan agar pendanaan digunakan untuk membiayai proyek-proyek prioritas dengan bunga rendah, di bawah pinjaman komersial.
Menurut Dadan, proyek prioritas yang didanai adalah proyek yang memberikan asas manfaat paling besar dan keekonomiannya tidak terlalu menarik.
"Seperti transmisi, misalkan jaringan transmisi di Sulawesi yang menghubungkan proyek pembangkit listrik energi terbarukan guna mendukung pengembangan industri," ujar Dadan.
Pemerintah diminta mewaspadai bunga pinjaman dari skema utang yang ditawarkan dalam pendanaan transisi energi melalui skema kemitraan JETP yang digawangi Amerika Serikat (AS) dan Jepang.
Dana JETP Afrika Selatan, yang disepakati pada COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun lalu, dilaporkan didominasi oleh utang atau pinjaman lunak dan komersial, dengan porsi hibah kurang dari 3%.
Peneliti dan Program Manager Trend Asia, Andri Prasetiyo, menyatakan langkah tersebut sebagai sikap antisipasi agar tidak menimbulkan beban negara di kemudian hari.
Menurut dia, pemerintah harus memastikan bahwa pendanaan tersebut memiliki porsi hibah atau pembiayaan lunak yang cukup ketimbang pembiayaan komersial yang mengikuti tingkat bunga yang berlaku di pasar.
Andri menyebut, skema pendanaan JETP berpotensi menjadi beban hutang baru yang bakal menjerat negara akibat porsi hibah yang lebih minim dari pinjaman.
"Pendanaan JETP sebagai inisiatif iklim diharapkan mampu membantu negara berkembang untuk pensiun PLTU, maka yang dibutuhkan adalah soal hibahnya yang lebih besar. Karena dengan begitu bentuk tanggung jawab negara maju sebagai pihak yang banyak mengasilkan emisi," ujarnya kepada Katadata.co.id. Jumat (18/11/2022).