Pemerintah masih mematangkan peraturan pajak karbon, meski sudah meluncurkan bursa perdagangan karbon pada Selasa (26/9).
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah harus segera membuat peta jalan (roadmap) untuk implementasi pajak karbon.
“Jadi adanya peta jalan tersebut bisa mengetahui industri apa saja yang akan dikenakan pajak karbon,” ujar Fabby, pucuk pimpinan lembaga swadaya masyarakat tersebut saat dihubungi Katadata.co.id, Selasa (3/10).
Fabby mengatakan peta jalan itu bisa berupa peraturan presiden atau peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Menurut dia, jika peta jalan sudah ditetapkan, maka penerapan pajak karbon bisa berjalan dengan baik. Pada akhirnya, semua sektor industri akan patuh untuk membayar pajak tersebut.
“Jadi kalau sekarang dibilang pengusaha belum siap menerapkan pajak karbon ya karena memang belum ada ketentuan yang mengharuskan mereka bayar pajak karbon di mana aturannya? Kan tidak ada. Kalau ada aturannya mereka akan patuhi,” kata dia.
Selain itu, menurut Fabby, Kamar Dagang Indonesia (Kadin) atau organisasi pengusaha harus mendesak pemerintah untuk segera memiliki aturan yang jelas mengenai sektor industri yang akan terkena kewajiban pengurangan emisi gas rumah kaca.
Dia juga mengatakan pemerintah sebaiknya mengajak industri untuk berkonsultasi terkait penerapan pajak karbon tersebut. Pemerintah juga harus memiliki perhitungan terkait dampak dari penerapan kebijakan bursa karbon ini.
“Menurut saya yang urgen untuk dikenalam pajak karbon itu adalah energi intensif Industri seperti misalnya Industri semen, baja, kertas, mereka tuh bisa dimulai pertama kali. Paling tidak bisa dimulai pajak karbonnya pada 2024,” ujarnya.
Kemudian, menurut dia, yang harus dikenakan pajak karbon selanjutnya adalah industri manufaktur dan pengolahan. Sedangkan sektor industri lainnya bisa dikenakan pajaknya secara bertahap. Oleh sebab itu, Fabby meminta pemerintah untuk segera membuat peta jalan atau regulasi terkait pajak karbon tersebut.
“Jadi kalau regulasi itu sudah dikeluarkan, pasti industri itu mau tidak mau harus sudah siap. Jadi industri dalam rangka mengantisipasi itu harus mempersiapkan diri,” kata dia.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan saat ini baru industri batu bara yang siap dikenakan pajak karbon.
Shinta mengatakan, penerapan pajak karbon akan membebankan para pelaku usaha yang tertarik dalam perdagangan bursa karbon, karena akan meningkatkan biaya. Selain itu, ada beberapa perusahaan kecil yang ingin berkecimpung.
Oleh sebab itu, dia meminta pemerintah untuk tidak buru-buru dalam menerapkan pajak bursa karbon tersebut. Menurut dia, sebelum pajak tersebut diterapkan tentu dibutuhkan roadmap (peta jalan), sehingga perlu adanya analisa terlebih dahulu.
“Penerapan pajak ini kan penuh roadmap, dan kita mesti menganalisa. Jadi bisa dibilang banyak industri yang belum siap untuk dikenakan pajak karbon karena itu kan masuk ke dalam cost juga pada akhirnya, jadi ini perlu waktu,” ujarnya dalam acara Bloomberg Technoz Ecofest di Jakarta, Rabu (27/9).
Dengan demikian, dia mengatakan pemerintah harus mendorong pelaku usaha kecil untuk bisa turut berpartisipasi dalam perdagangan bursa karbon, jangan hanya mementingkan pelaku usaha besar saja. Pasalnya, perekonomian di Indonesia bukan hanya diikuti oleh korporasi besar, namun di dalamnya juga terdapat UMKM.
“Tidak usah membicarakan soal karbon, kita mau ngomongin ke ekonomi yang hijau saja, ini kan sesuatu yang harus jadi perhatian kita, maka pelaku usaha kecil juga harus dibantu,” ujarnya.