Transisi energi hijau, yaitu perubahan dari penggunaan energi fosil yang mencemari lingkungan menjadi energi baru dan terbarukan (EBT) yang bersih dan berkelanjutan, menjadi salah satu isu penting yang dibahas dalam forum internasional, seperti Konferensi Perubahan Iklim (COP28) dan KTT G20.
Transisi energi adalah upaya untuk menekan risiko pemanasan global yang dapat mengancam kehidupan di masa depan. Transisi energi juga bisa diartikan sebagai sebuah jalan ke arah transformasi energi global menjadi nol karbon.
Hal tersebut berpatokan pada perubahan sektor energi global dari produksi dan konsumsi energi fosil menjadi energi terbarukan yang lebih berkelanjutan. International Renewable Energy Agency (IRENA) menyebutkan, transisi energi merupakan perubahan energi dari bahan bakar fosil menjadi energi hijau.
Indonesia, sebagai negara berkembang dengan potensi EBT yang besar, juga berkomitmen melakukan transisi energi hijau sebagai upaya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan mencapai net-zero emission pada tahun 2060.
Dampak Transisi Energi bagi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Transisi energi hijau tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, tetapi juga bagi perekonomian. Menurut publikasi IRENA, percepatan transisi energi dapat menumbuhkan ekonomi dunia sebesar 2,4% di atas perkiraan pertumbuhan normal.
Ini karena EBT memiliki biaya operasional yang lebih rendah, mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru, dan mengurangi ketergantungan terhadap fluktuasi harga bahan bakar fosil.
Di sisi lain, transisi energi hijau juga menimbulkan tantangan dan risiko, terutama bagi negara-negara yang masih bergantung pada energi fosil sebagai sumber pendapatan dan tenaga kerja. Oleh karena itu, diperlukan strategi transisi yang adil dan terjangkau, yang memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Untuk membahas isu-isu tersebut, Greenpeace Indonesia dan Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menggelar talkshow bertajuk “Nasib Transisi Ekonomi Hijau di Tahun Politik” yang digelar secara hybrid pada Selasa (19/12).
Talkshow ini menghadirkan dewan pakar Tim Pemenangan Nasional (TPN) masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pilpres 2024. Mereka adalah Irvan Pulungan (TPN Anies-Muhaimin), Drajad Wibowo (TPN Prabowo-Gibran), dan Agus Hermanto (TPN Ganjar-Mahfud).
Selain itu, talkshow ini juga mengundang Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti, Leonard Simanjutak, dan Direktur CELIOS Bhima Yudhistira, Country Director Greenpeace Indonesia.
Bhima menyampaikan bahwa ketergantungan pada ekonomi ekstraktif menimbulkan pertumbuhan ekonomi fluktuatif. Oleh sebab itu, pemerintah harus segera melakukan transisi dari struktur ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau.
"Kita konsisten setidaknya dalam 10 tahun ke depan melakukan transisi dari struktur ekonomi ekstraktif menuju ekonomi hijau. Kita asumsikan dengan melakukan kerja sama internasional dalam bentuk investasi dengan JETP (Just Energy Transition Partnership), dan Green Belt and Road Initiative," ujar Bhima
Menurutnya, itu bisa mewujudkan sumber dana transisi yang lebih bersih. Nantinya, akan banyak input ekonomi yang bisa kita hitung guna menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia."
Masyarakat dan pelaku usaha akan lebih diuntungkan dengan adanya transisi ekonomi hijau dengan munculnya berbagai industri baru di sektor circular economy dan transisi energi. Dengan hal ini, sektor energi terbarukan memiliki potensi menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat.
“Transisi energi bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal keadilan. Kami ingin memastikan bahwa transisi energi tidak hanya mengurangi emisi gas rumah kaca, tapi juga memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat." terang Bhima
Selain itu, salah satu topik yang juga dibahas adalah peluncuran policy brief oleh Greenpeace Indonesia dan CELIOS, yang berisi rekomendasi-rekomendasi untuk strategi transisi energi menuju net-zero emission 2060.
Policy brief ini menekankan pentingnya transisi energi yang berkeadilan, yang tidak hanya berfokus pada aspek teknis, tetapi juga melibatkan partisipasi dan kesejahteraan masyarakat, terutama yang terdampak oleh perubahan sumber energi.
Dalam policy brief ini, Greenpeace Indonesia dan CELIOS mengusulkan rekomendasi kebijakan untuk transisi ekonomi hijau, antara lain:
- Mendorong restorative economy;
- Menempatkan circular economy sebagai motor baru pertumbuhan;
- Mempersiapkan transisi pekerja;
- Energi terbarukan berbasis komunitas;
- Implementasi IFRS-2 Climate-related disclosure bagi perusahaan publik;
- RIM (Rasio Intermediasi Makroprudensial) khusus sektor ekonomi hijau;
- Pembentukan APBN Hijau (asumsi makro beyond dari asumsi konvensional);
- Paket stimulus ekonomi hijau;
- Percepatan implementasi SDG Desa melalui refocussing dana desa;
- Memastikan taksonomi hijau tidak memberikan ruang penyaluran kredit bertajuk “hijau dan transisi” bagi sektor tambang;
- dan pembangunan PLTU baru di kawasan industri.
Transisi energi hijau bukan hanya merupakan kewajiban moral untuk menyelamatkan bumi, tetapi juga merupakan peluang untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.