Investasi asing untuk sebesar Rp 49 triliun untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terhambat masuk Indonesia imbas aturan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendorong adanya relaksasi TKDN untuk investasi hijau di Indonesia.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi mengatakan, proyek PLTS terpaksa jalan di tempat lantaran polemik persyaratan TKDN tersebut. Aturan TKDN dari Kementerian Perindustrian menyatakan komponen dalam negeri untuk PLTS harus mencapai 60 persen.
Namun, dia mengatakan, banyak komponen PLTS yang masih harus impor. Investor asing juga kerap mensyaratkan untuk menggunakan komponen yang dia bawa bila ingin menanamkan modalnya di Indonesia.
“Banyak hal yang menjadi terhambat karena investasi itu semuanya harus memasukkan unsur TKDN,” kata Eniya saat dihubungi Katadata, Selasa (7/5).
Eniya mengatakan, pemerintah dan Komisi VII DPR sepakat jika pemasangan PLTS tetap menggunakan bahan lokal atau dalam negeri. Akan tetapi jika belum bisa terpenuhi oleh lokal, maka akan diberikan relaksasi.
Ia mengatakan, relaksasi yang dimaksud dikhususkan untuk investasi pengembangan PLTS dari luar negeri. Relaksasi ini akan diberikan melalui permohonan ke Kementerian Perindustrian.
Setelah itu, Kementerian Perindustrian melakukan koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) yang merupakan tim nasional program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Anggota timnas P3DN inilah yang akan menentukan melakukan persetujuan mengenai relaksasi dari TKDN.
“Jadi istilahnya tidak memenuhi tidak apa-apa, tetapi ada banyak pertimbangan yang akan dilakukan, dan yang memutuskan adalah timnas P3DN,” ujarnya.
Temuan riset Bain and Company, Temasek, GenZero, bersama Amazon Web Services melalui laporan bertajuk Southeast Asia’s Green Economy 2023 Report. Laporan itu menemukan bahwa nilai investasi yang diterima untuk mendukung ekonomi hijau (green economy) di kawasan Asia Tenggara justru menurun dalam dua tahun terakhir.
Tercatat, nilai investasi hijau Asia Tenggara pada 2022 hanya mencapai US$5,2 miliar atau setara Rp77,45 triliun (kurs Rp14.895/US$). Angka tersebut turun 7% dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Pada 2021, nilai investasi hijau negara-negara di kawasan ini mencapai US$5,6 miliar atau setara Rp83,41 triliun. Nilai itu juga menurun jika dibandingkan pada 2020, yang nilainya sempat mencapai di angka US$6,6 miliar atau Rp98,3 triliun.
Menurut Bain and Company, penurunan investasi asing menjadi salah satu alasan merosotnya penerimaan sektor ini pada 2022. Tercatat, investasi dari luar Asia Tenggara mengalami penurunan hingga 50% (yoy), meskipun investasi antarnegara di kawasan justru mengalami peningkatan 2 kali lipat.
Bain and Company mengatakan, komitmen investasi hijau di kawasan Asia Tenggara pada 2022 meningkat, namun belum terealisasikan ke dalam bentuk belanja modal.
“Komitmen modal baru dari pemerintah dan korporasi meningkat, tetapi belum diwujudkan ke dalam lebih banyak transaksi dan pengeluaran dalam skala besar,” kata Bain and Company.