Memahami Status Suspend dalam Administrasi Perpajakan Indonesia

Arief Kamaludin | KATADATA
Ilustrasi, Gedung Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
Penulis: Agung Jatmiko
30/6/2022, 10.42 WIB

Pelanggaran perpajakan dalam hal penerbitan faktur pajak menjadi salah satu hal yang paling diperhatikan pemerintah. Pelanggaran ini tergolong serius, dan mendominasi kasus tindak perpajakan di Indonesia pada 2020 lalu.

Berdasarkan Laporan Tahunan DJP 2020, jumlah kasus faktur pajak yang diterbitkan tidak berdasarkan transaksi sebenarnya tercatat mencapai 44 kasus. Jumlahnya melebihi pelanggaran pelaporan surat pemberitahuan (SPT).

Oleh karena itu, melalui Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pemerintah menetapkan sanksi yang berat atas pelanggaran ini. Besaran denda yang dijatuhkan bisa mencapai empat kali lipat dari jumlah pajak pada faktur pajak.

Selain itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga bisa menetapkan status suspend, dan mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP) terhadap wajib pajak yang menerbitkan faktur fiktif.

Definisi Status Suspend

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ/2018, status suspend merupakan keadaan di mana sertifikat elektronik yang dimiliki wajib pajak dinonaktifkan sementara waktu oleh DJP. Status ini mengakibatkan wajib pajak tidak dapat menerbitkan faktur pajak.

Mengutip ddtc.co.id, penonaktifan sertifikat elektronik yang dimaksud adalah, menonaktifkan sementara akun PKP pada aplikasi e-faktur. Status suspend ini diberikan kepada wajib pajak yang terindikasi sebagai penerbit faktur pajak tidak sah.

Penetapan status suspend wajib pajak ini didasarkan atas beberapa hasil penelitian. Pertama, hasil penelitian indikasi penerbit. Kedua, hasil pengembangan dan analisis informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP). Ketiga, hasil pengembangan pemeriksaan bukti permulaan wajib pajak lain.

Keempat, hasil pengembangan penyidikan wajib pajak lain. Kelima, informasi yang diperoleh pada saat wajib pajak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan. Keenam, informasi yang diperoleh pada saat wajib pajak sedang dilakukan penyidikan.

Patut diingat, status suspend ini bersifat sementara. Bagi wajib pajak yang telah melakukan klarifikasi dan memenuhi sejumlah persyaratan, status suspend tersebut akan dicabut oleh DJP. Wajib pajak tidak akan dikenakan status suspend apabila berdasarkan hasil penelitian terbukti dan dapat diyakini memenuhi persyaratan tersebut di atas.

Dokumen identitas diyakini keabsahan dan kebenarannya, wajib pajak diketahui keberadaannya dan profil yang dimiliki wajar, lokasi usaha wajib pajak diketahui keberadaannya serta kegiatan usaha sesuai dengan profil wajib pajak.

Klarifikasi Penetapan Status Suspend

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, wajib pajak yang dikenakan status suspend dapat mengajukan klarifikasi. Proses penyampaiannya harus dilakukan secara langsung dan tertulis oleh wajib pajak atau pengurus atau penanggung jawab wajib pajak ke Direktorat Intelijen Perpajakan Kantor Pusat DJP.

Mengutip klikpajak.id, klarifikasi atas status supend ini tidak bisa dilakukan melalui telepon. Melainkan, harus secara tertulis dengan menggunakan contoh format yang telah diatur dalam Peraturan direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017.

Penyampaian klarifikasi harus disampaikan paling lama 30 hari sejak penetapan status suspend, yang sebelumnya telah melalui proses pemeriksaan bukti permulaan dan penyidikan. Selain surat klarifikasi, wajib pajak juga harus menyertakan dokumen-dokumen pendukung untuk mengajukan klarifikasi atas status supend ini.

Bagi wajib pajak orang pribadi, dokumen yang disertakan antara lain:

  1. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga bagi Warga Negara Indonesia (WNI) atau paspor yang masih berlaku bagi Warga Negara Asing (WNA), yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
  2. Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat pemerintah daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
  3. Foto berwarna yang menunjukkan lokasi/tempat dan kegiatan usaha wajib pajak.
  4. Daftar penyedia barang atau supplier list selama satu tahun terakhir.
  5. Rekening koran dan bukti penerimaan pembayaran selama satu tahun terakhir.
  6. Dokumen transaksi seperti dokumen pemesanan pembelian (purchase order), surat jalan (delivery order), berita acara serah terima barang dan/atau berita acara penyelesaian pekerjaan selama satu tahun terakhir.

Sementara, bagi wajib pajak badan, dokumen yang disertakan adalah sebagai berikut:

  1. Fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, dalam hal pengurus dan/atau penanggung jawab merupakan WNI, atau paspor yang masih berlaku dalam hal pengurus dan/atau penanggung jawab merupakan WNA, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
  2. Fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi wajib pajak badan dalam negeri atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap, yang dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
  3. Surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari pejabat pemerintah daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa setempat.
  4. Foto berwarna yang menunjukkan lokasi/tempat dan kegiatan usaha wajib pajak.
  5. Daftar penyedia barang (supplier list) selama satu tahun terakhir.
  6. Rekening koran dan bukti penerimaan pembayaran selama satu tahun terakhir.
  7. Dokumen transaksi seperti dokumen pemesanan pembelian (purchase order), surat jalan (delivery order), berita acara serah terima barang dan/atau berita acara penyelesaian pekerjaan selama satu tahun terakhir.

Apabila wajib pajak yang terkena status suspend tidak segera menyampaikan klarifikasi dalam jangka waktu 30 hari, maka sertifikat elektronik milik wajib pajak akan dicabut dan ditindaklanjuti dengan pencabutan pengukuhan PKP.

Hal ini sesuai ketentuan Pasal 53 PMK No.147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.