Pada pertengahan 2021, pemerintah sempat mengutarakan rencana mereformasi sistem Pajak Pertambahan Nilai atau PPN, dengan memperkenalkan skema multitarif.
Salah satu alasan pemerintah ingin mereformasi sistem PPN adalah, karena realisasi pengumpulan PPN tidak riil. Ini terlihat dari c-efficiency PPN sebesar 63,58%. Artinya, pemerintah hanya bisa mengumpulkan 63,58% dari total PPN yang seharusnya bisa dipungut.
Meski rencana penggunaan skema multitarif dibatalkan, topik mengenai rasio c-efficiency cukup menarik untuk dibahas lebih lanjut. Sebab, rasio ini diyakini mampu menggambarkan secara riil potensi penerimaan PPN.
Apa sebenarnya rasio c-efficiency, dan seperti apa rumus perhitungan rasio ini? Simak ulasan berikut.
Latar Belakang Munculnya Rasio C-Efficiency PPN
Pada dasarnya, terdapat kebutuhan untuk mengevaluasi serta mengukur kinerja penerimaan PPN. Tujuan evaluasi dan pengukuran tersebut, adalah untuk meninjau optimal, atau tidaknya kebijakan, serta administrasi PPN terhadap penerimaan.
Mengutip ddtc.co.id, pengukuran kinerja PPN bisa dilakukan melalui berbagai indikator. Mayoritas indikator menggunakan realisasi penerimaan PPN sebagai angka pembilang, serta aktivitas ekonomi yang merefleksikan potensi PPN sebagai penyebut.
Pada awalnya, para akademisi dan pemangku kebijakan menggunakan suatu pengukuran sederhana, yaitu rasio PPN. Indikator ini, dihitung secara sederhana, yaitu dengan membagi penerimaan PPN dengan produk domestik bruto (PDB).
Namun, ada beberapa kelemahan dari indikator ini. Pertama, jika PDB digunakan sebagai penyebut. Sebab, pada dasarnya PDB merupakan akumulasi dari seluruh aktivitas ekonomi, tidak hanya konsumsi yang merupakan objek dari PPN. Oleh karena itu, perhitungannya berpotensi bias.
Kedua, perbandingan antarnegara akan sulit dilakukan, karena setiap negara memiliki tarif PPN yang bervariasi. Misalnya, perbandingan kinerja penerimaan PPN dua negara, dengan PDB relatif sama, namun memiliki tarif PPN yang berbeda. Hasilnya akan bias, karena negara dengan tarif PPN yang lebih besar, relatif memiliki kinerja penerimaan yang lebih baik.
Oleh karena itu, muncul alternatif indikator lain. Misalnya, rasio efisiensi PPN, yang dihitung dengan rumus penerimaan PPN / (tarif PPN x PDB).
Pengukuran ini dianggap lebih tepat dibandingkan pengukuran rasio PPN. Sebab, karena telah menggunakan variabel tarif PPN (standard rate). Dengan demikian, angka penyebut dianggap telah mempertimbangkan basis pajak yang lebih riil.
Misalnya, jika Indonesia memiliki PDB sebesar Rp 15.432 triliun, dengan tarif PPN 10%, maka potensi basis PPN diproyeksi senilai Rp 1.543 triliun. Perhitungan potensi penerimaan PPN berbasis indikator ini beberapa kali dipergunakan dalam berbagai diskusi publik.
Namun, indikator ini juga memiliki kelemahan. Sebab, masih menyertakan keseluruhan PDB sebagai basis perhitungan. Padahal, PDB tidak mencerminkan basis PPN.
Inilah yang menjadi dasar munculnya indikator baru, yaitu rasio c-efficiency PPN, yang menitikberatkan pada angka konsumsi final dalam satu periode sebagai basis perhitungan.
Sekilas Rasio C-Efficiency PPN
Indikator untuk mengukur kinerja efisiensi PPN dengan menggunakan rasio c-efficiency jauh berbeda dibandingkan indiaktor-indikator lain, seperti rasio PPN maupun rasio efisiensi PPN.
Berbeda dengan rasio efisiensi, rasio c-efficiency PPN tidak menggunakan seluruh PDB dalam komponen perhitungan. Melainkan, hanya menggunakan komponen konsumsi dalam PDB saja. Mengerucutkan variabel perhitungan ke konsumsi, membuat indikator ini mampu menggambarkan potensi penerimaan PPN yang sebenarnya.
Mengutip penelitian berjudul "The Evolution of Potential VAT Revenues and C-Efficiency in Advanced Economies" yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF), rasio c-efficiency PPN dihitung dengan rumus V / PVT. Di mana "V" merupakan realisasi penerimaan PPN. Sementara, "PVT" mewakili pendapatan teoritis dari PPN.
PVT sendiri dapat dicari dengan menggunakan rumus τS x (FC-V). Notasi "τS" merupakan tarif PPN (standard rate). Sementara, "FC" adalah final consumption atau konsumsi final dari satu periode waktu.
Rasio c-efficiency PPN ini, dapat didekomposisi menjadi kesenjangan kepatuhan dan kesenjangan kebijakan. Kesenjangan kepatuhan yang dimaksud, mengacu pada perbedaan antara penerimaan PPN potensial berdasarkan peraturan yang diterapkan dengan kepatuhan penuh (PVC), dan penerimaan PPN aktual (V). Hal ini dilakukan, untuk menunjukkan efektivitas administrasi pendapatan dan kepatuhan wajib pajak.
Sementara, kesenjangan kebijakan mengacu pada perbedaan antara pendapatan teoritis PPN di bawah sistem PPN dengan tarif tunggal yang diterapkan untuk semua konsumsi akhir (PVT) dan PVC. Ini untuk menunjukkan dampak dari pilihan kebijakan pajak, seperti penerapan tarif dan pengecualian yang berbeda.
Dekomposisi rasio c-efficiency (EC) ini dinyatakan dalam rumus atau perhitungan sebagai berikut:
EC = V / PVT
= (V/PVC) x (PVC/PVT)
= (1-Γ) x (1-P)
di mana "Γ" adalah kesenjangan kepatuhan dan "P" adalah kesenjangan kebijakan.
Dengan demikian, perubahan proporsional tahunan dalam c-efficiency (CE) dapat didekomposisi menjadi jumlah perubahan proporsional tahunan dalam kesenjangan kepatuhan (1-Γ) dan kesenjangan kebijakan (1-P).
Ini karena perubahan proporsional dalam rasio penerimaan PPN terhadap PDB, dapat dinyatakan sebagai jumlah perubahan proporsional dalam tarif PPN, c-efficiency, dan konsumsi akhir relatif terhadap PDB.
Indikator Pengukuran Kinerja PPN Lainnya
Selain rasio PPN, rasio efisiensi PPN, dan rasio c-efficiency, setidaknya ada dua indikator lain yang dapat digunakan. Pertama, value added tax (VAT) gross collection ratio, yang memperhitungkan PDB yang secara spesifik berasal dari konsumsi rumah tangga sebagai basis PPN.
Kedua, VAT gap, yang mengukur selisih antara potensi dan realisasi penerimaan PPN. Adapun, potensi penerimaan PPN berdasarkan pada estimasi dari data statistik ekonomi yang lebih terperinci, seperti survei rumah tangga, tabel IO, dan sebagainya.
Kedua indikator ini dianggap lebih tepat, tetapi memiliki tantangan dalam praktiknya. Tantangan tersebut ditimbulkan oleh ketersediaan data, dan sulitnya mengestimasi secara presisi. Apalagi, VAT gap juga sangat tergantung dari data penelitian serta model yang dipergunakan.
Hal ini membuat perbandingan kinerja PPN sangat jarang menggunakan VAT gross collection dan VAT gap. Studi komparasi yang berkembang, justru condong kepada penggunaan rasio c-efficiency. Dapat disimpulkan, hingga kini rasio c-efficiency dianggap sebagai indikator yang paling mencerminkan aspek keandalan (reliable) sekaligus feasible.