Pajak Emas, Pengertian, Landasan Hukum, dan Pengenaannya

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/hp.
Ilustrasi, seorang pramuniaga menunjukkan emas batangan produksi PT Aneka Tambang Tbk (Antam) di sebuah gerai emas.
Penulis: Agung Jatmiko
24/8/2022, 09.28 WIB

Emas sejak lama merupakan salah satu instrumen investasi menjadi pilihan banyak kalangan. Sebab, instrumen ini memiliki risiko rendah dan sering disebut sebagai safe heaven.

Selain sifat lukuiditasnya, emas juga dikenal sebagai salah satu modal investasi yang tahan terhadap inflasi. Terlebih dalam kondisi pandemi seperti saat ini, harganya melambung tinggi karena banyaknya permintaan emas sebagai instrumen investasi yang aman di tengah kekhawatiran krisis ekonomi.

Standar ekonomi dunia mungkin tidak berhubungan dengan nilai emas, namun nilainya adalah dasar nilai riil. Selain itu, emas juga disebut sebagai alat penyimpan nilai. Nilai dari komoditas emas sendiri, tidak dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga yang ditetapkan pemerintah.

Banyak yang tidak menyadari, bahwa emas masuk dalam objek pajak. Dalam hal ini, pajak dikenakan atas pembelian dan penjualan emas. Jenis pajak yang dipungut, adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. Dari sini, muncul istilah pajak emas.

Pengertian dan Landasan Hukum Pajak Emas

Pajak emas merupakan istilah yang disematkan pada pengenaan pungutan pajak saat seseorang membeli dan menjual emas. JIka memiliki emas, baik itu melalui pembelian langsung, maupun dengan sistem cicilan, seseorang wajib melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).

Jumlah pajak yang dikenakan tergantung pada status wajib pajak pembeli emas. Kepemilikan NPWP juga turut mempengaruhi jumlah pajak yang harus dibayarkan.

Pengenaan pajak emas memiliki dasar hukum berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 107/PMK.010/2015 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Sehubungan dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.

PMK ini, kemudian diperkuat dengan dikeluarkannya PMK Nomor 34/PMK.010/2017 tentang Pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain.

Melalui PMK yang ditetapkan pada 1 Mei 2017 ini, maka pembelian dan penjualan emas dikenakan pungutan PPh Pasal 22. Sebagai informasi, pajak emas yang dibebankan kepada wajib pajak hanya PPh Pasal 22. Komoditas ini tidak dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN).

Pengenaannya Pajak Emas

Seperti telah disebutkan, baik pembelian maupun penjualan emas, dikenakan pungutan PPh Pasal 22. Ada perbedaan perlakuan pengenaan pajak untuk kedua jenis transaksi ini.

1. Pajak Emas untuk Pembelian

Mengutip pajak.go.id, berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) huruf (h) PMK 34/PMK.010/2017 tarif PPh Pasal 22 atas penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan, adalah sebesar 0,45% dari harga jual emas batangan, bagi pembeli yang memiliki NPWP. Sementara, bagi pembeli yang tidak memiliki NPWP, tarif yang dikenakan adalah sebesar 0,9%.

Kemudian, berdasarkan Pasal 3 Ayat (4) PMK 34/PMK.010/2017, produsen emas batangan akan menyetorkan PPh badan tersebut ke kas negara melalui Pos Persepsi, Bank Devisa Persepsi, atau Bank Persepsi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Produsen emas batangan yang dimaksud, adalah wajib pajak yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemungutan dan penyetoran PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. Misalnya, PT Aneka Tambang Tbk.

Ini artinya, bahwa pembeli emas tidak menyetorkan pajak penghasilan tersebut. Namun pajak tersebut sudah termasuk dalam harga pembelian emas. Setiap pembelian emas batangan akan dipungut PPh Pasal 22 oleh badan usaha yang menjualnya, dan pembeli akan mendapatkan bukti potong PPh Pasal 22.

Setelah membeli emas, wajib pajak harus melaporkannya pada SPT Tahunan bagian harta akhir tahun. Dalam buku petunjuk pengisian SPT Tahunan PPh orang pribadi, disebutkan tentang harta-harta apa saja yang perlu dilaporkan dalam SPT Tahunan.

Kategori besarnya harta yang dimaksud, adalah dalam bentuk kas dan setara kas, piutang, investasi, alat transportasi, harta bergerak lainnya dan harta tidak bergerak.

Sementara, sub-kategorinya secara spesifik menyebutkan uang tunai dan tabungan saham, obligasi, surat utang, reksadana, sepeda motor, mobil, logam mulia, peralatan elektronik, dan tanah dan bangunan. Selain itu, bukti potong yang didapat saat pembelian emas dapat digunakan sebagai kredit pajak pada SPT Tahunan.

2. Pajak Emas untuk Penjualan

Tidak hanya saat membeli emas, saat menjualnya pun dikenakan pajak emas, yakni PPh Pasal 22. Sesuai dengan PMK 34/PMK.010/2017, penjualan emas batangan dengan nominal lebih dari Rp 10 juta, dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 1,5% untuk pemegang NPWP dan 3% untuk non-NPWP.

PPh Pasal 22 atas transaksi penjualan emas kembali dipotong langsung dari total nilai penjualan emas. Pemotongan terjadi jika transaksi penjualan emas kembali dilakukan dengan badan yang ditunjuk sebagai pemungut pajak, seperti bendahara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Penjualan kembali emas yang melebihi batasan 10 juta akan dipotong PPh Pasal 22 kembali. Namun, hasil potongan pajak ini dapat dikreditkan pada SPT Tahunan, jika wajib pajak memasukkan bukti potong PPh Pasal 22 pada SPT Tahunannya.

Patut diingat, bahwa pajak emas yang dikenakan pada saat penjualan kembali ini, hanya dikenakan atas nilai penjualan yang melebihi Rp 10 juta. Selain itu, pengenaan pajak emas ini juga berlaku untuk kegiatan pembelian dan penjualan emas digital.