Menyongsong pemilihan umum (Pemilu) 2024, situasi dunia politik Indonesia menghangat. Namun, bukan karena persaingan sengit antar partai politik atau antar calon presiden-wakil presiden. Melainkan, karena adanya keputusan penundaan Pemilu yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Pada Kamis (2/3), PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan yang diajukan Partai Rakyat Adil Makmur atau Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa tergugat, dalam hal ini KPU, untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu 2024 selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan dan 7 (tujuh) hari sejak putusan ini dibacakan dan kemudian melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal untuk selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan dan 7 (tujuh) hari.
Ini berkaitan dengan gugatan Partai Prima, yang menyebut KPU telah lalai melakukan verifikasi, yang pada akhirnya menyebabkan partai tersebut tidak lolos verifikasi administrasi.
Atas keputusan PN Jakarta Pusat tersebut, KPU menyatakan menolak, dan akan mengajukan banding. Tak hanya itu, kritik terhadap keputusan PN Jakarta Pusat tersebut, juga disuarakan oleh berbagai pihak. Misalnya, oleh Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tanjung, dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto.
Nah, apakah secara hukum Pemilu 2024 dapat ditunda karena keputusan yang dikeluarkan oleh PN Jakarta Pusat ini? Simak ulasan selengkapnya berikut ini.
Dasar Hukum Penundaan Pemilu
Mengutip tulisan berjudul "Konstitusionalitas Penundaan Pemilihan Umum Tahun 2024" yang dimuat dalam Jurnal Legislatif, penundaan Pemilu tidak dimungkinkan sama sekali, apabila tidak ada kondisi yang darurat.
Adapun, hal yang terkait dengan penundaan penyelenggaraan Pemilu, diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Secara spesifik, termaktub dalam pasal 431 sampai 433 UU 7/2017.
Dalam Pasal 431 ayat (1) UU 7/2017, disebutkan "Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan; bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan".
Adapun, pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) UU 7/2017 tersebut, dimulai dari tahap di mana penyelenggaraan Pemilu terhenti.
Sementara, pada Pasal 432 ayat (1) UU 7/2017, menyebutkan "Dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuaan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan". Pemilu susulan yang dimaksud, dilakukan untuk seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu.
Pengaturan Pemilu lanjutan dan susulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 dan 432 UU 7/2017, diatur dalam Pasal 433. Pelaksanaannya, dilakukan setelah ada penetapan penundaan pelaksanaan Pemilu.
Penetapan penundaan tersebut, dilakukan oleh beberapa pihak, antara lain:
- KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kelurahan/desa;
- KPU Kabupaten/Kota atas usul PPK apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kecamatan;
- KPU Provinsi atas usul Kpu Kabupaten/Kota apabila penundaan pelaksanaan Pemilu meliputi satu atau beberapa kabupaten/kota; atau
- KPU atas usul KPU Provinsi apabila pelaksanaan pemilu lanjutan atau susulan meliputi satu atau beberapa provinsi.
Jika melihat aturan yang tertulis dalam UU 7/2017, maka bisa dikatakan penundaan Pemilu tidak dapat dilakukan hanya karena putusan pengadilan terkait gugatan salah satu partai yang tidak lolos verifikasi.
Akademisi dari Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung Fathul Mu’in mengatakan penundaan pemilu hanya bisa dilakukan saat situasi negara dalam kondisi luar biasa.Beberapa kondisi yang memungkinkan adalah bencana alam, atau perang.
Menurut Fathul, putusan hakim PN Jakarta Pusat terkait penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024 sangat tidak masuk akal. Putusan itu juga dinilai melampaui kewenangan hakim, sehingga putusannya tidak perlu dilaksanakan.
"Putusan hakim sangat aneh dan di luar kewajaran, karena tidak punya kompetensi untuk menunda pemilu, serta putusannya pun tidak punya dasar sehingga tidak bisa dilaksanakan," ujar Fathul.
Mengutip tulisan berjudul "Konstitusionalitas Penundaan Pemilihan Umum Tahun 2024" dalam Jurnal Legislatif, selain mengacu pada UU 7/2017, penundaan Pemilu juga tidak memungkinkan berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945). Secara spesifik Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.
Pasal tersebut berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan".
Jika pemerintah ingin melakukan penundaan Pemilu, maka amandemen harus dilakukan, terkhusus terhadap Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945. Namun, selain merubah ketentuan Pasal 22E ayat (1), penundaan Pemilu 2024 akan berdampak pada pasal lain dalam konstitusi Indonesia. Penundaan Pemilu 2024 akan menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden akan menjabat lebih lama dari yang seharusnya diamanatkan oleh konstitusi.
Artinya, untuk menunda Pemilu 2024, pemerintah harus memilih opsi antara menambah masa jabatan Presiden atau menghadirkan masa jabatan Presiden 3 periode. Hal ini kemudian berimbas pada perlunya amandemen terhadap Pasal 7 UUD NRI 1945 terkait dengan masa jabatan Presiden 5 tahun.
Jika merujuk kepada konstitusi, ketika masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden telah habis, maka Presiden dan Wakil Presiden akan kehilangan legitimasi dan kewenangan yang dimilikinya. Kecuali, Indonesia mengalami kondisi darurat, di mana Pemilu tidak dapat dilaksanakan.