Gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK masih terjadi di Indonesia. Terbaru PT Sri Rejeki Isman Tbk yang memutus hubungan kerja sebanyak 3.000 karyawannya.
Sepanjang paruh pertama tahun ini, perusahaan tekstil asal Solo ini telah melakukan efisiensi tenaga kerja sebanyak 23%, totalnya mencapai 10.000 orang. Perusahaan juga belum menutup gelombang pemutusan hubungan kerja ke depan.
PHK karyawan kerja menjadi momok bagi setiap pekerja di seluruh dunia. Bagaimana tidak, salah satu kebijakan yang diambil perusahaan ini, memiliki konsekuensi negatif bagi kelangsungan hidup dan masa depan para pekerja yang terkena, serta keluarganya.
Lantas, apa sebenarnya PHK itu, dan ada berapa macam jenis yang dilakukan, serta seperti apa aturannya di Indonesia? Simak selengkapnya dalam ulasan berikut ini.
Pengertian PHK
Sesuai dengan namanya, PHK merupakan pengakhiran hubungan kerja yang disebabkan karena suatu hal tertentu. Ketika perusahaan mengambil kebijakan ini, maka berakibat berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pemberi kerja (perusahaan).
Biasanya, penyebab terjadinya PHK, adalah karena adanya efisiensi yang dilakukan perusahaan, atau terjadi penutupan bisnis, kepailitan. PHK juga bisa dikenakan apabila pekerja mangkir, atau melakukan pelanggaran berat, pekerja meninggal dunia atau pensiun.
PHK karyawan dapat terjadi pada seluruh usaha, baik yang memiliki badan hukum atau tidak, serta apakah usaha tersebut milik perorangan, persekutuan, maupun berstatus perseroan.
Pengakhiran hubungan kerja ini, juga bisa terjadi pada badan usaha milik swasta maupun negara. Bahkan, PHK juga bisa terjadi pada institusi sosial.
Intinya, kebijakan PHK dapat terjadi pada setiap usaha yang memiliki pengurus, yang mempekerjakan orang lain dengan membayar upah dan imbalan dalam bentuk lain.
Jenis-jenis PHK
Seperti telah disebutkan sebelumnya, kebijakan PHK dapat diambil karena berbagai sebab, antara lain efisiensi, perusahaan tutup atau pailit. Kemudian, jika pekerja mangkir, melakukan pelanggaran berat, meninggal dunia atau pensiun.
Atas berbagai penyebab tersebut, maka PHK dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Jenis-jenis PHK yang lazim terjadi adalah sebagai berikut.
1. PHK Demi Hukum
Pengakhiran hubungan kerja bisa disebabkan karena kewajiban perusahaan mengikuti ketetapan hukum. Jika demi hukum, penyebab dilakukannya PHK adalah pekerja meninggal, atau jangka waktu perjanjian kerja habis.
Jika ini yang terjadi, perusahaan sebagai pemberi kerja tidak perlu memberikan surat PHK karena pelaksanaannya sudah otomatis.
2. Pelanggaran Perjanjian Kerja
PHK juga bisa terjadi dan dilakukan sepihak oleh perusahaan selaku pemberi kerja, yang disebabkan karena pekerja telah melanggar perjanjian kerja yang disepakati. Misalnya, dalam suatu perjanjian kerja telah disepakati waktu bekerja, namun pekerja/karyawan selalu melanggar perjanjian tersebut secara terus-menerus.
Dalam kasus ini, perusahaan berhak memberhentikan pekerja tersebut, karena telah melanggar perjanjian kerja yang telah disepakati. Namun, sebelum mengambil kebijakan PHK, perusahaan telah memberi surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
3. PHK dalam Kondisi Tertentu
PHK juga dapat terjadi dalam kondisi tertentu. Misalnya, perusahaan melakukan efisiensi, mengalami kepailitan atau kerugian secara terus-menerus, sehingga tidak dapat melanjutkan operasionalnya.
Patut diingat, PHK dalam kondisi tertentu ini harus terjadi dengan kesepakatan antara kedua belah pihak. Artinya, perusahaan telah menginformasikan dan menjelaskan alasan dilakukannya PHK.
PHK juga dapat terjadi dalam keadaan force majeure atau keadaan memaksa. Misalnya, tempat operasional perusahaan terkena dampak bencana alam yang parah, yang menyebabkan perusahaan tersebut sama sekali tidak bisa beroperasi.
4. Pekerja Melakukan Kesalahan Berat
PHK dapat dilakukan secara sepihak oleh perusahaan, jika pekerja yang menjadi objek pemutusan hubungan kerja tersebut melakukan pelanggaran berat.
Pelanggaran yang dimaksud ini, bukan seperti pelanggaran perjanjian kerja yang ringan, di mana PHK dilakukan apabila dilakukan secara terus-menerus. Jika pekerja melakukan pelanggaran atau kesalahan yang serius, maka PHK dapat dijatuhkan tanpa adanya peringatan.
Contoh kesalahan berat yang dimaksud antara lain, pekerja melakukan penipuan, penggelapan aset perusahaan, menyerang atau menganiaya rekan kerja, membocorkan rahasia perusahaan, dan sebagainya.
Aturan PHK di Indonesia
Karena seriusnya dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh kebijakan PHK ini, Pemerintah Indonesia sejak lama telah mengatur perihal hubungan antara pekerja dan pemberi kerja atau perusahaan.
Pengaturan ini diwujudkan dengan undang-undang (UU) tentang ketenagakerjaan. Saat ini, di Indonesia aturan yang berlaku adalah UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).
Untuk mendukung UU tentang ketenagakerjaan, pemerintah juga membuat aturan turunan, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Dalam UU Ketenagakerjaan juncto UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa perusahaan selaku pemberi kerja dapat mengambil kebijakan PHK dengan beberapa alasan. Secara perinci, alasan yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Perusahaan melakukan penggabungan,peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh.
2. Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian.
3. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun.
4. Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeure).
5. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang.
6. Perusahaan pailit.
7. Adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh, dengan alasan perusahaan melakukan beberapa perbuatan, antara lain:
- Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh.
- Membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
- Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu.
- Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh.
- Memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan.
- Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
8. Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang menyatakan bahwa perusahaan tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang dituduhkan/diadukan pekerja.
9. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
- Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.
- Tidak terikat dalam ikatan dinas.
- Tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
10. Pekerja/buruh mangkir selama lima hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha dua kali secara patut dan tertulis.
11. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama enam bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
12. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama enam bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.
13. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
14. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun.
15. Pekerja/buruh meninggal dunia.
Aturan Mengenai Larangan PHK di Indonesia
Meski dalam UU Cipta Kerja disebutkan bahwa perusahaan dapat melakukan PHK, pemerintah tidak lupa memasukkan aturan yang mengatur mengenai larangan melakukan PHK karena kondisi tertentu.
Aturan larangan PHK karena sebab tertentu ini, tertuang dalam Pasal 153 Ayat (1) UU Cipta Kerja. Dalam aturan ini, larangan PHK dapat dijatuhkan jika pemutusan hubungan kerja dilakukan perusahaan dengan alasan sebagai berikut.
- Pekerja berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter, selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus.
- Pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya, karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Pekerja menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya.
- Pekerja menikah.
- Pekerja perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
- Pekerja mempunyai pertalian darah dan atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam satu perusahaan.
- Pekerja mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja, pekerja melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan perusahaan, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
- Pekerja yang mengadukan perusahaan kepada yang berwajib mengenai perbuatan perusahaan yang melakukan tindak pidana kejahatan.
- Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.
- Pekerja dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Lebih lanjut, pada Pasal 153 Ayat (2) UU Cipta Kerja, disebutkan bahwa jika PHK tetap terjadi, maka pemutusan hubungan kerja tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja.
Tata Cara PHK
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, semua pihak yang terlibat, dalam hal ini perusahaan, pekerja, dan serikat pekerja, harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK. Namun, apabila kebijakan PHK tidak dapat dihindari, maka ketentuan yang berlaku adalah seperti yang tertera dalam Pasal 37 PP 35/2021.
Berdasarkan ketentuan tersebut, jika perusahaan mengambil kebijakan PHK, harus memberitahukan maksud dan alasan PHK kepada pekerja, dan/atau serikat pekerja.
Pemberitahuan PHK dibuat dalam bentuk surat pemberitahuan, dan disampaikan secara sah dan patut kepada pekerja dan/atau serikat pekerja paling lama 14 hari kerja sebelum dilakukannya PHK. Jika PHK dilakukan dalam masa percobaan, maka surat pemberitahuan disampaikan paling lama tujuh hari kerja sebelum PHK.
Menanggapi kebijakan atau keputusan PHK yang diambil perusahaan, pekerja dapat menerima maupun menolak. Hal ini diatur dalam Pasal 38 dan 39 PP 35/2021.
Jika pekerja dan/atau serikat pekerja menerima keputusan PHK, maka perusahaan harus melaporkan PHK kepada Kementerian Ketenagakerjaan, dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota.
Sementara, jika pekerja dan/atau serikat pekerja menolak keputusan PHK, maka harus membuat surat penolakan disertai alasan paling lama tujuh hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan PHK.
Kemudian, kedua belah pihak harus melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, dalam hal ini perselisihan PHK. Penyelesaian perselisihan PHK ini, harus dilakukan melalui perundingan bipartit antara perusahaan dengan pekerja dan/atau serikat pekerja.
Jika perundingan bipartit tersebut tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian PHK tahap berikutnya dilakukan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang dimaksud adalah, UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial atau UU PPHI.