Istilah greenflation ramai diperbincangkan setelah debat keempat Pilpres 2024 KPU pada 21 Januari lalu. Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka memberikan pertanyaan soal greenflation kepada cawapres nomor urut 3 Mahfud MD.
Menurut Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter, FEB UI, Telisa Aulia Falianty, greenflation adalah peningkatan harga barang dan jasa atau inflasi sebagai konsekuensi dari peralihan perekonomian menuju model yang lebih ramah lingkungan, yakni perekonomian net-zero.
Greenflation dapat diamati melalui peningkatan harga beberapa komoditas. Kondisi ini disebabkan oleh permintaan yang tinggi terhadap logam yang diperlukan dalam transisi menuju energi terbarukan. Sementara pasokannya tidak mampu memenuhi tingkat permintaan tersebut.
Apa Itu Greenflation?
Greenflation adalah istilah yang merupakan singkatan dari "green" atau hijau dan "inflation" atau inflasi. Greenflation dihubungkan dengan naiknya harga material dan energi yang disebabkan oleh transisi atau perubahan menuju energi hijau.
Fenomena greenflation terjadi saat usaha untuk mengatasi perubahan iklim dan menjaga lingkungan justru meningkatkan biaya dan harga bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan energi hijau. Akibatnya, terjadi inflasi hijau atau peningkatan harga bahan-bahan strategis untuk infrastruktur secara berkelanjutan dalam kurun waktu tertentu.
Greenflation dapat timbul karena beberapa alasan. Salah satunya adalah perubahan iklim yang mengganggu rantai pasokan bahan baku yang kemudian mempengaruhi harga. Contoh lainnya adalah permintaan yang tinggi terhadap energi terbarukan, kendaraan listrik dan baterai yang tidak seimbang dengan ketersediaan produknya.
Greenflation pernah terjadi saat pemberlakuan pajak karbon untuk mendukung lingkungan justru menyebabkan kenaikan harga bahan bakar di Perancis pada tahun 2018. Kondisi tersebut memicu protes dalam gerakan yang dikenal sebagai Rompi Kuning.
Di beberapa negara, greenflation menyebabkan kenaikan harga bahan logam seperti timah, aluminium, tembaga serta nikel-kobalt mencapai 91 persen pada tahun 2021. Kenaikan harga logam ini terjadi karena bahan-bahan tersebut sering digunakan dalam upaya menuju transisi energi hijau.
Apa Saja Penyebab Greenflation di Suatu Negara?
Seiring dengan pertumbuhan jumlah industri yang beralih ke teknologi rendah emisi, inflasi hijau diyakini akan menimbulkan tekanan pada harga berbagai produk selama periode transisi. Berikut beberapa penyebab greenflation:
1. Pajak Karbon Meningkat
Banyak faktor yang memicu terjadinya inflasi selama transisi energi hijau. Salah satunya adalah peningkatan biaya pajak karbon. Harga satu ton CO2 saat ini lebih tinggi sepuluh kali lipat dibandingkan dengan saat Perjanjian Paris ditandatangani pada 12 Desember 2015.
Menurut Badan Perdagangan Internasional (IMF) pada Juni 2021, pajak karbon global perlu meningkat menjadi US$75 per ton pada tahun 2030. Angka tersebut diperkirakan akan terus naik dalam tahun-tahun berikutnya.
Hal ini disebabkan oleh kebutuhan untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca (GRK) sebesar seperempat hingga setengahnya pada tahun 2030 agar perubahan iklim dapat kembali stabil. Proyeksi menunjukkan bahwa emisi CO2 global diperkirakan akan meningkat dari 30 miliar ton pada tahun 2020 menjadi 37 miliar ton pada tahun 2030.
2. Pengurangan Bahan Bakar Fosil
Untuk mendorong transisi ke arah energi hijau, pemerintah perlu mengurangi subsidi bahan bakar fosil dan menerapkan kebijakan yang mengurangi insentif bagi perusahaan untuk meningkatkan produksi baru.
Saat perusahaan-perusahaan tersebut mengurangi investasi dalam eksplorasi dan ekstraksi, ada kemungkinan bahwa pasokan minyak dan gas baru akan menurun lebih cepat daripada permintaan. Situasi ini dapat menimbulkan tekanan pada kenaikan harga. Dampak ini terjadi karena saat ini perusahaan-perusahaan minyak dan gas besar sedang memindahkan fokus ke sektor energi terbarukan.
3. Lonjakan Permintaan Bahan Baku Energi Hijau
Permintaan pasar diperkirakan akan meningkat untuk komoditas yang diperlukan dalam transisi menuju energi hijau. Namun ketersediaan beberapa mineral terbatas. Terjadi lonjakan permintaan terhadap lithium dan nikel, khususnya akibat peningkatan kebutuhan kendaraan listrik.
Hal yang sama berlaku untuk tembaga yang esensial untuk pembuatan kabel kendaraan listrik. Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan lithium dapat melonjak hingga 40 kali lipat dalam dua dekade ke depan karena penggunaan baterai terus meningkat.
Sementara itu, investasi dalam pembangkit listrik tenaga angin juga diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap seng dan tanah jarang. Jumlah besar tanah jarang diperlukan dalam konstruksi panel fotovoltaik bersama dengan silikon dan perak.
Dapat disimpulkan greenflation adalah fenomena inflasi yang terkait dengan transisi atau perubahan menuju energi hijau. Ini terjadi saat biaya dan harga bahan baku yang digunakan untuk menciptakan energi hijau meningkat sehingga menimbulkan peningkatan harga bahan strategis dalam infrastruktur secara berkelanjutan.