Dalam sistem perpajakan Indonesia, pengadilan pajak merupakan lembaga yang keberadaannya tergolong penting. Sebab, lembaga ini bertujuan menjaga keseimbangan antara kepentingan pemerintah dalam mengumpulkan pendapatan pajak, dan hak-hak, serta keadilan untuk wajib pajak.
Melalui lembaga peradilan di bidang perpajakan ini, wajib pajak yang tidak setuju dengan langkah yang diambil otoritas pajak berhak mengajukan upaya hukum.
Terdapat dua jenis upaya hukum yang dapat ditempuh oleh wajib pajak, yakni gugatan dan banding, dimana keduanya dapat diajukan berdasarkan syarat dan kriteria tertentu.
Proses Pengajuan Banding di Pengadilan Pajak
Sebelum upaya banding dapat diajukan, wajib pajak harus menjalani proses keberatan. Apabila tidak puas dengan surat keputusan keberatan, maka upaya banding baru dapat diajukan.
Mengacu pada Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, upaya banding diartikan sebagai langkah hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat diajukan banding.
Adapun, syarat untuk mengajukan permohonan banding tertera dalam Pasal 35 juncto Pasal 36 UU 14/2002. Pertama, banding dilakukan dengan mengajukan surat banding dalam Bahasa Indonesia, yang diajukan kepada pengadilan pajak.
Kedua, banding diajukan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal diterima keputusan yang dibanding. Jangka waktu ditetapkan agar pemohon mempunyai waktu yang cukup untuk mempersiapkan surat banding, alasan-alasan, beserta bukti yang menguatkan alasan hukumnya.
Jika setelah lewat tiga bulan tidak diajukan banding, maka wajib pajak dianggap menyetujui keputusan keberatan. Meski demikian, jangka waktu dapat diperpanjang apabila terjadi keadaan di luar kekuasaan pemohon banding atau force majeur.
Ketiga, wajib pajak tidak dapat mengajukan permohonan banding atas dua atau lebih keputusan keberatan dalam satu surat banding. Surat banding yang diajukan kepada pengadilan pajak juga mencantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
Keempat, surat banding wajib pajak juga perlu melampirkan keputusan keberatan yang diajukan banding. Lalu, surat banding juga harus mengandung posita dan petitum yang jelas.
Sebagai informasi, posita adalah uraian yang memuat alasan mengapa wajib pajak mengajukan banding kepada pengadilan pajak. Dalam posita juga diuraikan mengenai fakta-fakta, seperti pembukuan atau pencatatan, perhitungan pajak, ataupun hal-hal materiil lainnya. Uraian dalam posita, akan menjadi dasar dalam mengajukan petitum, yakni hal yang dimohonkan.
Pemohon banding dapat melengkapi surat banding yang diajukan ke pengadilan pajak untuk memenuhi ketentuan yang berlaku. Ini sepanjang masih dalam jangka waktu yang telah disebutkan, yakni tiga bulan.
Patut diingat, permohonan banding dapat diajukan oleh wajib pajak, ahli waris, seorang pengurus, atau kuasa hukumnya. Apabila pemohon banding meninggal selama proses banding berjalan, banding dapat dilanjutkan oleh wahli waris, kuasa hukum, ataupun pengampu dalam hal pemohon banding pailit.
Selain itu, pemohon juga dapat mengajukan pencabutan permohonan banding yang telah diajukan kepada pengadilan pajak. Banding yang dicabut nantinya akan dihapus dari daftar sengketa dengan menggunakan penetapan Ketua Pengadilan Pajak atau Putusan Majelis/Hakim Tunggal.
Jika permohonan banding dicabut, maka wajib pajak tidak dapat mengajukan kembali permohonan banding atas perkara yang sama kepada pengadilan pajak.