Per 18 Agustus lalu, makanan ringan Cheetos, Lay’s, dan Doritos tak lagi berproduksi di Indonesia. PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk pecah kongsi dengan perusahaan asal Amerika Serikat, PepsiCo, selaku pemilik merek tersebut.
Indofood tetap akan melanjutkan produk makanan ringan itu dengan merek berbeda. “Memang dilanjutkan oleh brand (merek) milik kami semula, mungkin,” kata Komisaris Utama Indofood CBP Franciscus Wellirang kepada Katadata.co.id, Selasa (31/8).
Beredar kabar Cheetos bakal berganti menjadi Chiki Twist. Lalu, Lay’s menjadi Chitato Lite. Terakhir Doritos berubah menjadi Maxicorn. Namun, Franciscus mengatakan tidak mengetahui detailnya.
Dalam unggahan terbaru akun Instagram resmi Chiki Indonesia, terlihat merek-merek pengganti ketiga makanan ringan tersebut. Ketiganya sudah ada dalam katalog dan bersanding dengan merek Indofood lain, seperti Qtela dan JetZ.
Kinerja ICBP
Sebagai informasi, perusahaan yang berkode efek ICBP tersebut mencatat laba bersih yang turun 4,65% pada paruh pertama 2021. Angkanya turun dari Rp 3,37 triliun pada semester pertama 2020 menjadi Rp 3,22 triliun.
Penurunan itu tak seiring dengan besaran penjualannya yang naik 22,35% menjadi Rp 28,19 triliun. Keuntungan ICBP tergerus beban penjualan, distribusi, beban umum, administrasi, dan beban operasi lainnya.
Beban keuangannya mencapai Rp 1,48 triliun. Nilai ini naik 1.638% dibandingkan semester pertama 2021 yang hanya Rp 85,37 miliar.
Direktur Utama dan Chief Executive Officer ICBP Anthoni Salim memberikan penjelasan terkait penurunan laba itu. Angka tersebut tidak memperhitungkan akun non-recurring dan selisih kurs yang belum terealisasi.
Laba inti yang mencerminkan kinerja sebenarnya adalah naik 25% menjadi Rp 3,95 triliun. Anthoni yang juga memegang jabatan serupa di induk usaha, yaitu PT Indofood Sukses Makmur, mengatakan, ICBP tetap berkontribusi besar ke kinerja perusahaan.
Profil Sudono Salim
Keberadaan Indofood sebagai salah satu perusahaan makanan terbesar di Indonesia tak terlepas dari tangan dingin pendirinya, Sudono Salim. Pria kelahiran Fujian, Tiongkok, 19 Juli 1916 ini bernama asli Liem Sioe Liong.
Melansir dari kumparan.com, Liem lahir dari keluarga petani miskin. Di usia 15 tahun ia tak lagi bersekolah dan berjualan mi dengan ayahnya. Lalu, terjadi perang Tiongkok dan Jepang. Liem memutuskan merantau ke Indonesia, menyusul kakak pertamnya, Liem Sioe Hie.
Tujuan utamanya adalah Kudus, Jawa Tengah. Di kota ini ia sempat bekerja sebagai karyawan di pabrik kerupuk. Tak lama, Liem beralih profesi menjadi pengusaha cengkeh dan tembakau. Di bisnis inilah ia mulai menuai kesuksesan. Pada usia 25 tahun, Liem menjadi salah satu bandar cengkeh terbesar di kota tersebut.
Tirto.id menuliskan, pada dekade 1940-an bisnis Liem mengalami kesulitan karena kondisi perang. Ia akhirnya menjadi pemasok logistik tentara. Berkat keuletannya, perbekalan barangnya selalu datang paling dulu dibanding yang lain. Hal inilah yang membuatnya menonjol dibandingkan pemasok lain.
Dari pekerjaan itu ia berkenalan dengan seorang perwira logistik bernama Sulardi, kakak pengusaha Sudwikatmono. Keduanya merupakan sepupu Presiden Kedua RI Sohearto.
Ketika Orde Baru berkuasa, bisnis Liem semakin kinclong. Ia untung di usaha beras karena menjadi pengimpor beras Badan Urusan Logistik alias Bulog. Lalu, ia merambah bisnis gandum, yaitu tepung terigu Bogasari. Sampai sekarang Bogasari menjadi merek utama produk tepung di Indonesia.
Liem kemudian melebarkan sayapnya dan membangun konglomerasi Salim Group pada 1972. Semua produknya memakai ciri khas dengan nama Indo pada awal merek. Yang terkenal adalah mi instan Indomie.
Lalu, ada susu Indomilk, penjualan mobil Indomobil, semen Indocement, dan swalayan Indomaret. Di perbankan, ia juga mendirikan Bank Central Asia alias BCA bersama Mochtar Riady (pendiri Lippo Group).
Namun, Liem kehilangan BCA ketika krisis moneter 1997-1998 terjadi di Indonesia. Mayoritas sahamnya kini dikuasai Hartono Bersaudara, pendiri Grup Djarum.
Sejarah Bisnis Indofood
Melansir dari situs Indofood, perusahaan mulai masuk ke bisnis makanan ringan atau snack pada 1990. Nama Indofood Sukses Makmur muncul pada 1994, sebelumnya bernama PT Panganjaya Intikusuma. Di tahun yang sama, perusahaan yang menjadi induk bisnis makanan Salim Group tersebut mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Periode tersebut menjadi momen penting bagi perusahaan. Salim Group menggabungkan Indofood dan PT Sanmaru. Perusahaan inilah yang awalnya memproduksi Indomie pada 1972 dan Chiki. Sedangkan Salim Group baru pada 1982 masuk ke bisnis mi instan bermerek Sarimi.
Anak usahanya yang bergerak di produk konsumsi bermerek alias consumer branded products (CBP) kemudian masuk ke bisnis pengolahan susu pada 2008. Perusahaan mengakuisisi PT Indolakto, salah satu produsen produk susu terbesar di Indonesia.
Indofood CBP Sukses Makmur mencatatkan sahamnya perdana di lantai bursa pada 2010. Tiga tahun kemudian, ICBP masuk ke bisnis minuman kemasan. Pada 2014, perusahaan juga membeli usaha air minum kemasan bermerek Club.
Sejak 1990an, produk Indofood telah masuk pasar ekspor, termasuk Australia, Asia Timur, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Serikat. Pabrik Indomie bahkan telah hadir di Nigeria, Afrika, sejak 1995 karena kepopulerannya di Benua Hitam.
Liem meninggal pada 10 Juni 2012 di Singapura. Gurita bisnisnya kini dipegang oleh putra bungsunya, Anthoni Salim, dan menantunya, Franciscus Welirang.
Mengutip dari Forbes, Indofood merupakan salah satu perusahaan mi instan terbesar dunia. Anthoni menempati posisi empat orang terkaya se-Indonesia. Per 9 Desember 2020, total kekayaannya mencapai US$ 5,9 miliar atau sekitar Rp 84,2 triliun (dengan kurs Rp 14.257 per dolar AS).