Jejak-jejak Sjamsul Nursalim, Orang Kaya di Kasus BLBI

Betharia Sarulina|KATADATA
6/10/2021, 08.00 WIB

Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia telah banyak memanggil sejumlah obligor dan debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI. Langkah tersebut gencar dilakukan untuk menyelesaikan kewajiban mereka membayar utang kepada negara.

Salah satu nama yang dipanggil yakni, Sjamsul Nursalim. Pada 22 September 2021, Satgas BLBI memanggilnya untuk melunasi utang Rp 470,65 miliar. Ini terkait posisinya kala itu sebagai pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang memperoleh bantuan BLBI.

Dalam kasus BLBI di ranah pidana, KPK bahkan pernah memasukkan salah satu orang terkaya di Indonesia ini dalam daftar pencarian orang (DPO). Begitu juga istrinya. Hal ini lantaran pengusaha yang memiliki nama kecil Lim Tek Siong atau Liem Thoen Ho itu tak memenuhi panggilan aparat.

Konferensi Pers Sita Aset Obligor BLBI (Youtube/Kemenko Polhukam RI)

Melansir dari buku Bantuan Likuiditas Bank Indonesia karya Agus Pandoman, Sjamsul telah mengambil alih kendali BDNI pada 1980 dari kepemimpinan Direktur Utama Paulus Wibowo. Saat itu, BDNI sudah memiliki tumpukan utang US$ 30 juta dan membuat banyak nasabah angkat kaki dari bank tesebut.

Di sisi lain, muncul pula dugaan bahwa aksi “penyelamatan” BDNI mendapat dukungan dari salah satu Bank Prancis, Societe Generale cabang Singapura. Konon, Sjamsul berhasil menarik pinjaman US$ 15 juta yang sebagian digunakan untuk menutup utang BDNI kepada bank-bank luar negeri, namun dibantah olehnya.

Kisah Sjamsul Nursalim dan BDNI

Sjamsul yang semula memulai kejayaan lewat bisnis karet, khususnya ban, kemudian melebarkan sayap usaha ke sektor perbankan. Pada 1980-an, Sjamsul menjadi Direktur Utama BDNI dengan mengantongi 50 % kepemilikan saham. Adapun sisa saham dimiliki PT Nusantour Duta Development Corporation dan Djaya Development Corporation milik Hamengkubuwono IX.

BDNI pertama kali didirikan di Medan pada 1945. Kemudian, pada 1955, BDNI memiliki izin sebagai Bank Devisa. Bank ini juga pernah bekerja sama dengan PT Asuransi Binadaya Nusa Indah untuk menyediakan asuransi bagi para deposan, serta dengan PT Telkom dan Perusahaan Listrik Negara dalam pembayaran listrik dan telepon. Selain itu, BDNI pernah bekerja sama dengan Bank asal Jepang, Dai-Ichi Kangyo Bank Ltd dan mendirikan perusahaan bernama PT Bank Dai-Ichi Kangyo Indonesia.

Sayangnya, perjalanan bisnis BDNI tak berjalan mulus. Pada krisis moneter 1997-1998, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan dana bantuan yang dinamakan BLBI kepada sejumlah bank yang hampir bankrut, termasuk BDNI. Bank tersebut saat itu berstatus Bank Beku Operasi dan membutuhkan suntikan pemerintah untuk pulih. BDNI diketahui telah menerima saluran dana BLBI sebesar Rp 37,04 triliun.

Selanjutnya, pada 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang mengatur mengenai Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada para debitur yang telah menuntaskan kewajibannya maupun yang mangkir dari kewajibannya.

Bersamaan dengan hal tersebut, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ditugaskan menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi sejumlah bank yang telah melunasi utangnya. Selain itu, BPPN memberikan sanksi kepada bank-bank yang belum membayarkan utang.

Aset-aset milik Sjamsul Nursalim kemudian disita dan diserahkan kepada lembaga ini. Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung kemudian memberikan SKL kepada Sjamsul selaku bos BDNI pada 2004. Namun, aset yang diberikan Sjamsul diduga kredit macet. Alhasil, kasus tersebut pun diusut oleh KPK pada 2013.

Komisi anti rasuah ini kemudian menyidik sederet nama penerima SKL. KPK menemukan dugaan kerja sama antara Sjamsul dan Syarifuddin. Sjamsul dan istrinya, Itjih Nursalim, pun ditetapkan sebagai tersangka pada 2019.

Sepasang suami istri tersebut kemudian melarikan diri ke Singapura dan menyandang status buron oleh KPK. Namun, pada 2021, KPK menghentikan penyidikan kasus Sjamsul dan Itjih dengan menerbitkan Surat Pemberhentian Penyidikan Perkara alias SP3.

Bisnis-bisnis Sjamsul Nursalim

Sjamsul Nursalim lahir di Lampung pada 19 Januari 1942. Dia dibesarkan di tengah keluarga pedagang. Melansir Tirto, ayah Sjamsul pernah mendirikan pabrik penggilingan karet di Teluk Betung, Lampung pada 1951.

Latar belakang tersebut membuat pria yang pernah mengenyam pendidikan di Inggris ini terjun ke dunia bisnis yang erat kaitannya dengan karet. Sjamsul kemudian bergabung dengan perusahaan yang memproduksi ban luar dan ban dalam sepeda, NV Hok Thay Hin.

NV ini didirikan oleh Tan Kin Soei dan Zainal Junaid pada  24 Agustus 1951 dengan modal Rp 3 juta. Perusahaan tersebutlah yang menjadi cikal bakal PT Gajah Tunggal Tbk yang diketahui memulai kegiatan usaha komersialnya pada 1953.

Seiring meningkatnya ketertarikan masyarakat terhadap kendaraan bermotor, kebutuhan akan ban motor dan mobil pun turut mengalami peningkatan. Alhasil, Gajah Tunggal sukses memonopoli pasar ban di Indonesia.

Gajah Tunggal KATADATA | Bernard Chaniago (KATADATA | Bernard Chaniago)

Melansir laman resmi Gajah Tunggal, perusahaan ban ini juga bekerja sama dengan perusahaan asal Jepang, Inoue Rubber Company dan mulai mengembangkan produksinya dengan memproduksi ban sepeda motor pada 1973.

Selanjutnya, pada 1981 perusahaan mulai mengembangakan variasi produk untuk ban mobil (penumpang) dan niaga. Gajah Tunggal bekerja sama dengan Yokohama Rubber Company, sekaligus menelurkan produk ban bermerk Yokohama.

Gajah Tunggal pertama kali melakukan penawaran umum perdana alias initial public offering pada 15 Maret 1990. Menggunakan kode saham GJTL, perusahaan menebar 20 juta lembar saham dengan harga penawaran Rp 5.000 per saham. Saham-saham tersebut dicatatkan dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 8 Mei 1990.

GJTL juga diketahui melakukan investasi saham pada perusahaan yang tercatat di BEI, yakni Polychem Indonesia Tbk (ADMG) dengan kepemilikan sebesar 25,56%. ADMG pertama kali didirikan di Indonesia pada 1978. Perusahaan ini bergerak di bidang pembuatan petrokimia dan poliester. ADMG memiliki kapitalisasi pasar Rp 824,5 miliar per Senin (4/10).

Di awal  1993, perusahaan mulai memproduksi ban radial untuk mobil penumpang dan truk. Produk Gajah Tunggal pun semakin berkembang dan memunculkan produk jempolannya, GT Radial.

Gajah Tunggal merupakan perseroan yang bergerak di bidang pengembangan, pembuatan, hingga penjualan barang-barang berbahan dasar karet. Beberapa barang tersebut seperti, ban dalam dan luar kendaraan, flap dan rim tape, hingga produsen karet sintesis.

Selain GT Radial, Gajah Tunggal juga memasarkan ban bermerk Zeneos dan merk lisensi, yakni IRC Tire dari perusahaan Jepang Inoue Rubber Company (IRC).

Sjamsul dalam Jajaran Orang Kaya Forbes

Menurut Forbes tahun 2018, Sjamsul termasuk ke dalam daftar orang terkaya urutan ke- 36 di Indonesia. Kekayaan totalnya sebesar US$ 810 juta. Kemudian, pada 2020, Forbes mencatatkan kekayaan Sjamsul sebesar US$ 755 juta atau setara Rp 11,25 triliun.

Saat ini, Sjamsul juga mengantongi 51 % kepemilikan saham di perusahaan ritel di Indonesia, PT Mitra Adiperkasa Tbk. Perusahaan tersebut merupakan pemegang hak penjualan beberapa merek terkenal seperti Zara, Starbucks, Sogo, dan Reebok. Bahkan, perusahaan ini memiliki lebih dari 2.000 ritel yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan lebih dari 150 merek terkenal.

Perusahaan yang didirikan pada 1994 ini melakukan penawaran saham pertamanya pada 10 November 2004 dengan kode saham MAPI. Saat itu, sebanyak 500 juta lembar saham ditawarkan ke publik dengan harga Rp 625 per saham. Kapitalisasi pasar MAPI tercatat sebesar Rp 12,87 triliun per Senin (4/10).

Salah satu anak Sjamsul adalah Susanto Nursalim atau William Liem. Dia sejak lama disiapkan oleh Sjamsul untuk menjadi “putra mahkota” dari gurita bisnis keluarga. Alumnus University of California Berkeley, AS itu menjadi executive director Tuan Sing Holdings, perusahaan induk yang memayungi 80 anak perusahaan dan tercatat sebagai emiten di Stock Exchange of Singapura (SSX).

Tuan Sing Holding adalah perusahaan yang cukup disegani di Singapura. Salah satu anak perusahaannya yang bergerak di sektor properti, Habitat Properties Ltd, adalah developer beberapa proyek prestisius, seperti Century Woods, University Park, Reservoir Villas, Royal Court, Anderson Greendan, dan St Martin Residence.

Istri Sjamsul Nursalim, Itjih Sjamsul Nursalim atau Go Giok Lian, tercatat dalam daftar pemegang saham Tuan Sing yang juga mengendalikan Nuri Holding Ltd. Perusahaan terakhir itu dikendalikan putri Sjamsul Nursalim, Liem Mei Kim. Dari data laporan keuangan terakhir yang dipublikasikan per Februari 2007, Tuan Sing memiliki total aset Sing$ 574,6 juta, total pendapatan Sing$ 425 juta dan laba bersih Sing$ 14,3 juta.

Penyumbang bahan: Nada Naurah (Magang)

Reporter: Abdul Azis Said